“Beranda Hati yang Kembali Bergetar”
> “Cinta tak pernah mati, hanya memilih berdiam di hati yang sabar menanti.”
Kesunyian yang Berakar
Laras telah terbiasa dengan sunyi.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk belajar berdamai dengan rasa kehilangan. Rumah kayunya berdiri tenang di ujung desa, dikelilingi pohon mangga tua dan semilir angin yang setiap hari menyampaikan suara-suara rindu yang tak pernah dijawab.
Setiap pagi, ia menyeduh teh melati. Duduk di beranda menghadap sawah. Menunggu... entah siapa. Entah apa. Kadang berharap suaminya datang—walau tahu, itu mustahil.
Tetangga sering bilang: “Masih muda, cantik, Laras. Sayang kalau terus sendiri.”
Tapi Laras tak ingin sekadar ditemani. Ia ingin dicintai, dipahami, dan dihargai sebagai wanita yang pernah luka—bukan sekadar janda yang butuh sandaran.
Dia yang Kembali dari Lalu
Suatu sore, langit berwarna tembaga, dan burung-burung mulai terbang rendah. Laras duduk di beranda, menatap langit seolah bicara dengan yang Maha Jauh.
Tiba-tiba suara motor terdengar. Pelan. Berhenti di depan rumahnya.
Laras menoleh. Sosok lelaki turun dari motor. Tubuhnya tinggi, wajahnya teduh, sedikit janggut menghias dagunya.
“Reza?” Laras berdiri.
“Laras… lama sekali ya,” ucapnya sambil tersenyum canggung.
Reza adalah teman masa kecil yang dulu sering main layang-layang bersamanya. Ia merantau sejak SMA, dan kini kembali setelah bertahun-tahun.
Ada sesuatu dalam mata Reza yang membuat Laras kembali merasa... hidup.
Percakapan yang Menyiram Rasa
Hari-hari berikutnya Reza kerap datang. Membawakan buah dari kebunnya, memperbaiki lampu yang rusak, bahkan membantu menyapu halaman.
Tapi yang paling Laras tunggu adalah obrolan mereka di beranda. Tentang masa kecil, kegagalan cinta, dan ketakutan untuk berharap lagi.
“Aku takut jatuh cinta,” kata Laras suatu malam. “Karena aku takut kehilangan lagi.”
Reza menatapnya lama. Lalu berkata pelan, “Kalau begitu... izinkan aku hanya berjalan bersamamu. Bukan untuk jatuh, tapi untuk berdiri sama-sama.”
Hati Laras menghangat. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia tertawa sampai matanya berkaca.
Pelukan Pertama di Bawah Hujan
Hujan turun deras malam itu. Angin mengetuk jendela seperti ingin masuk. Laras terbangun dan memeriksa rumah—lalu suara motor terdengar di luar. Reza berdiri di teras, basah kuyup, menggigil tapi tersenyum.
“Aku khawatir kamu sendirian di malam kayak gini.”
Laras membukakan pintu. Ia mengambil handuk, menyeduh coklat panas, dan mereka duduk berdua di dekat perapian kecil.
Laras menyelimuti Reza. Mereka saling diam, hanya saling memandang. Jemari Reza menyentuh pipi Laras, lalu ia berkata lirih:
“Aku nggak punya apa-apa... cuma perasaan yang tulus dan keinginan untuk menjaga kamu, seumur hidup.”
Laras menunduk, matanya basah. Ia membalas genggaman tangan Reza dan menaruh kepalanya di bahu lelaki itu.
Dan malam itu, pelukan yang selama ini hanya ada dalam doa, akhirnya nyata.
Siap! Kita akan lanjut ke Bab 5 dengan menambahkan unsur drama emosional: keraguan batin Laras, kehadiran mantan ipar yang menyimpan luka lama, dan bisik-bisik tetangga yang mulai tajam. Semua tetap dibungkus dalam nuansa romantis, puitis, dan menyentuh.
Di Antara Cinta dan Luka yang Belum Sembuh
Pagi itu, Reza datang dengan wajah cerah. Di tangannya ada sekotak makanan hangat dan sepucuk surat yang dilipat rapi.
“Aku bikin ini sendiri,” katanya, menyerahkan nasi kuning dan tahu bacem.
Laras tersenyum. Tapi di dalam dadanya, ada resah yang ia pendam sejak malam itu.
Surat di tangan Reza berisi kalimat tulus:
“Jika kamu merasa cukup kuat untuk memulai lagi, aku akan menunggu kamu di pelaminan. Tapi kalau belum… izinkan aku tetap mencintaimu dari dekat, tanpa memaksa.”
Laras tak menjawab hari itu.
Tiga hari kemudian, rumah Laras didatangi seseorang dari masa lalu—Rina, adik dari almarhum suaminya.
“Apa kamu serius mau nikah lagi, Laras?” tanya Rina tajam.
“Baru beberapa tahun abangku meninggal… Kamu lupa?”
Laras terdiam. Tak ingin membalas, tapi hatinya terasa dipukul keras. Ia tahu, bukan cinta yang dipertanyakan, tapi loyalitas kepada kenangan.
Malamnya, Laras duduk sendiri di beranda. Langit mendung, dan suara jangkrik terdengar menggema. Ia membuka surat Reza lagi, dan entah kenapa, air matanya jatuh.
Ia bicara pelan, seolah kepada suaminya yang telah tiada:
“Maafkan aku… bukan karena aku melupakanmu. Tapi karena hatiku yang sunyi ini… akhirnya menemukan seseorang yang menyalakan lampunya kembali.”
Keesokan harinya, Laras bertemu Reza di kebun. Ia masih terlihat bingung, tapi akhirnya berkata lirih:
“Aku ingin bahagia, Reza. Tapi... aku takut menyakiti masa lalu.”
Reza memegang tangannya, menatapnya dalam-dalam.
“Masa lalu tak akan sakit... kalau yang kau kejar adalah kebahagiaanmu sendiri. Aku tidak ingin menggantikan siapa pun, Laras. Aku hanya ingin menjadi orang yang kamu genggam hari ini—bukan bayangan kemarin.”
Dan pagi itu, Laras menangis dalam pelukan Reza. Bukan karena sedih, tapi karena beban yang selama ini ia simpan… akhirnya mulai lepas perlahan.
Cinta yang Dipertaruhkan
Minggu pagi, udara desa semerbak oleh aroma tanah basah dan bau kopi yang baru diseduh. Tapi bukan hanya aroma yang menyebar—juga suara-suara lirih yang menusuk hati Laras.
"Janda cantik itu udah mulai bawa-bawa laki-laki ke rumah," bisik ibu-ibu di warung.
"Katanya pacaran sama Reza, duda dari kota. Ah, cepat juga lupanya…"
Laras pura-pura tak dengar. Tapi kata-kata itu menggumpal di dadanya. Menyesakkan. Menikam pelan-pelan.
Sore itu, Reza datang dengan senyum. Tapi Laras tak bisa menyembunyikan gelisahnya.
“Kita dibicarakan, Reza. Semua orang menatap aku seolah aku tak layak bahagia lagi,” katanya dengan mata basah.
Reza menarik napas, lalu memeluk Laras dari belakang. “Kalau cinta harus sembunyi, aku rela. Tapi aku tak akan pernah sembunyi dari niatku mencintaimu.”
Namun tak lama kemudian, badai yang lebih besar datang: Rina muncul kembali.
Kali ini, bukan hanya membawa omongan, tapi juga berkas warisan rumah.
“Kau tahu, rumah ini belum sepenuhnya milikmu. Abangku tak sempat mengurus surat balik nama. Kau tinggal di sini... cuma numpang. Dan kalau kau berani nikah dengan orang luar, aku tuntut bagian kami.”
Laras gemetar. Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa tetap terikat dengan kenangan dan masa depan. Ia terduduk lemas. Tapi Reza datang dan berdiri di sampingnya.
“Saya yang akan urus semuanya, Bu Rina. Kalau memang itu jalannya, kami akan pindah, tapi saya tidak akan biarkan Laras terluka sendiri,” ucap Reza dengan tegas.
Malam itu, Laras dan Reza duduk di depan tungku. Lampu minyak bergoyang pelan, bayangan mereka menari di dinding.
“Kamu yakin, Reza?” tanya Laras pelan.
“Aku tak hanya mencintaimu, Laras. Aku memilih kamu… dengan segala ribetnya, lukanya, dan resikonya.”
Laras menatap mata lelaki itu. Lalu perlahan ia menyentuhkan bibirnya ke kening Reza. Lama, hangat, penuh rasa syukur.
Mereka tak punya apa-apa, mungkin. Tapi malam itu, mereka punya satu sama lain.
Rahasia yang Terungkap di Tengah Hujan
Hujan turun lagi malam itu, seperti mengulang malam pelukan pertama mereka. Tapi kali ini, udara tidak hangat—melainkan berat dan dingin.
Reza berdiri di depan pintu rumah Laras, wajahnya tak seperti biasanya. Di belakangnya, berdiri seorang anak perempuan kecil berusia sekitar 9 tahun, mengenakan jaket merah dan menggenggam tas sekolah.
“Laras… kenalkan ini Aira. Putriku.”
Laras membeku. Waktu seakan berhenti.
Anak itu menatap Laras dengan mata besar yang polos, dan suara lembutnya menembus sunyi: “Halo, Tante…”
Reza menunduk. Ia tahu ini tidak mudah.
“Aku nggak pernah bermaksud menyembunyikannya. Aku hanya… belum siap. Dulu aku menikah muda. Istriku meninggal setelah melahirkan Aira. Sejak itu Aira diasuh oleh kakak perempuanku di kota.”
Laras masih terdiam. Tak ada marah di wajahnya—yang ada hanya getar kecewa dan canggung yang sulit dijelaskan.
“Kau bilang mencintaiku dengan tulus,” ucap Laras pelan. “Tapi kau tak pernah cerita tentang bagian terpenting dari hidupmu…”
Cinta Tak Selalu Datang Sendiri
Malam itu Laras tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit, mendengar hujan mengetuk genteng seperti suara masa lalu yang ingin masuk paksa.
Pagi harinya, ia menyiapkan sarapan. Tapi tak seperti biasanya, tangannya gemetar saat memotong roti. Aira duduk di meja makan, malu-malu.
“Tante Laras… suka kucing?” tanya Aira tiba-tiba.
Laras tersenyum kecil. “Suka. Kenapa?”
“Kalau aku punya anak kucing, boleh aku kasih namanya Laras juga?”
Laras terdiam sejenak. Lalu ia tertawa pelan, tulus.
Dan saat itu, ia sadar…
Cinta memang tak selalu datang sendiri. Kadang, cinta datang membawa tangan-tangan kecil, dengan masa lalu yang belum selesai, dan luka yang butuh waktu untuk diredakan.
Ujian Terakhir di Antara Mereka
Pagi itu, Laras membuka tirai dan melihat Aira duduk di halaman, sedang memberi makan ayam kampung dengan tangan mungilnya.
“Kamu bangun pagi banget,” ujar Laras sambil menyodorkan selimut kecil ke pundak gadis itu.
Aira tersenyum. “Aku pengen bantu Tante. Biar kayak di TV, ada rumah, ayam, dan orang yang saling sayang.”
Laras hanya bisa menatap. Anak ini, dalam polosnya, seolah mewakili sesuatu yang telah lama ia lupakan: harapan.
Hari demi hari, kehadiran Aira mulai mengisi ruang kosong yang selama ini Laras isi dengan kenangan. Ia mulai menyiapkan bekal untuk sekolah Aira, mengikat rambutnya, bahkan membaca cerita sebelum tidur.
Dan suatu malam, saat Laras hampir mematikan lampu kamar, Aira berbisik dari balik selimut:
“Kalau Tante Laras jadi mamaku… boleh nggak aku peluk tiap malam kayak gini?”
Laras menahan air mata. Ia membalik badan, lalu meraih tubuh kecil itu ke pelukannya.
“Mau sampai kamu besar pun… Tante akan tetap ada di sini.”
Namun kebahagiaan yang baru tumbuh itu seperti bunga yang diincar badai.
Suatu siang, Rina datang ke rumah. Kali ini tak sendiri. Ia membawa beberapa tetua desa.
“Laras… kamu pikir kami buta? Kau janda, dia duda. Sekarang bawa anak pula. Apa kamu pikir warga akan diam melihat ini?”
Seorang ibu menambahkan, “Ada yang bilang kamu kejar hartanya Reza. Rumahnya di kota, kebunnya luas. Katanya kamu pintar main perasaan.”
Laras hanya berdiri, tak bisa membela diri. Ia tahu Reza mendengar dari dalam. Tapi lelaki itu tetap di tempatnya, memberi ruang agar Laras memilih bertahan karena hatinya, bukan karena perlindungan siapa pun.
Setelah mereka pergi, Laras duduk di tangga beranda, menatap tanah yang basah oleh hujan semalam.
Reza datang, duduk di sampingnya.
“Aku bisa bawa kamu dan Aira pindah, Laras. Tinggal di kota, tinggalkan semua ini…”
Laras menggeleng. “Kalau aku pergi karena takut… aku kalah, Za. Bukan pada mereka, tapi pada diriku sendiri.”
Malam itu, Laras menulis di buku hariannya:
“Aku pernah hidup sendiri dengan damai. Tapi bukan berarti aku tak ingin bahagia.
Cinta yang datang padaku kini… bukan cinta yang sempurna.
Tapi cinta ini nyata. Hangat. Dan tumbuh dari luka yang saling menyembuhkan.”
Sebuah Nama di Buku Nikah
Pagi itu, langit mendung tapi tidak murung. Angin berhembus pelan, seperti ikut menahan napas menanti sesuatu yang suci akan terjadi.
Laras duduk di ruang tamu rumahnya, mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau zaitun. Rambutnya disanggul rapi, dengan hiasan melati mengalir di bahunya. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik senyum itu… hatinya gemetar.
Di luar, para tamu mulai berdatangan. Ibu-ibu memakai batik, bapak-bapak membawa doa. Semua yang dulu mencibir, kini datang dengan senyum—entah karena benar-benar ridha, atau hanya ingin menjadi saksi.
Reza tiba mengenakan baju koko putih dan peci hitam. Di tangannya, sebuah map cokelat berisi berkas dan surat. Tapi matanya hanya mencari satu sosok: Laras.
Saat mata mereka bertemu, seolah seluruh keraguan yang sempat menyelimuti sirna begitu saja.
Suasana Akad:
Suara penghulu mulai menggema:
“Saudara Reza Bin Ismail, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Laras Binti Mahmud…”
Hening. Semua menanti kalimat sakral itu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Binti Mahmud dengan mas kawin tersebut… tunai.”
Tangis tertahan di beberapa sudut ruangan. Laras menutup wajahnya dengan kerudung tipis, dan air matanya mengalir tanpa suara.
Ia tak percaya, namanya kini tertulis di buku nikah. Bukan sebagai janda, bukan sebagai kenangan. Tapi sebagai istri yang dicintai kembali.
Momen Haru Aira:
Setelah acara selesai, Aira berlari ke arah Laras dan memeluknya erat.
“Sekarang aku punya Mama beneran ya?” katanya dengan mata berbinar.
Laras memeluk anak itu erat. “Kamu nggak cuma punya mama… kamu punya rumah. Dan kamu rumahku juga, Aira.”
Reza berdiri di belakang mereka, matanya memerah. Lalu ia merangkul keduanya dalam pelukan yang dalam dan utuh.
Penutup
Senja mulai turun. Tapi bukan senja yang menyedihkan.
Di beranda yang dulu sepi, kini ada tiga cangkir teh. Satu untuk Laras, satu untuk Reza, dan satu untuk Aira yang duduk di pangkuan mamanya sambil tertawa kecil.
“Cinta itu bukan tentang seberapa sempurna datangnya. Tapi seberapa ikhlas kita menerimanya, merawatnya, dan memilih untuk tetap tinggal.”
Tamat