Cinta Bertepuk Sebelah Hati

Cerpen Sedih Romantis

Namaku Ara. Dan aku mencintai orang yang tidak pernah benar-benar melihatku—dengan cara yang sama seperti aku melihatnya.

Namanya Nino.

Kami teman sejak SMA. Duduk sebangku, pulang bareng, tahu satu sama lain bahkan sebelum tahu rasanya jatuh cinta. Tapi justru di sanalah masalahnya. Dia menganggapku seperti bagian dari rumah—hangat, nyaman, dan akrab. Tapi tidak lebih.

Kita Dekat, Tapi Tidak Pernah Saling

Setiap orang bilang, "Kalian cocok banget, pasti jodoh." Aku hanya bisa tersenyum sambil menyimpan harapan kecil. Karena hanya aku yang tahu—Nino tidak pernah menatapku dengan cara yang membuat jantung berdegup kencang.

Dia menatapku seperti kakak menatap adik. Seperti teman menatap sahabat. Tapi tidak pernah... seperti laki-laki yang jatuh cinta.

Aku tahu, dan tetap bertahan. Karena kadang, mencintai dalam diam jauh lebih mudah daripada kehilangan kesempatan untuk dekat.

Perempuan Lain yang Datang

Segalanya berubah waktu kuliah semester lima.

“Ara,” katanya suatu malam sambil mengunyah gorengan di teras kosanku. “Aku deket sama seseorang.”

Aku berhenti mengaduk teh.

“Siapa?”

Dia tersenyum malu-malu. “Namanya Dira. Anak arsitektur. Lucu banget orangnya. Kalau kamu ketemu dia, pasti suka deh.”

Aku menelan ludah. “Oh… iya?”

“Iya. Doain ya, semoga lancar.”

Malam itu aku tidur dengan mata terbuka, mencoba meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.

Aku Tetap Ada... Meski Hancur

Nino pacaran dengan Dira. Hubungan mereka sempat putus nyambung, dan di setiap fase itu... aku tetap ada. Sebagai pendengar. Sebagai pundak. Sebagai penolong saat hatinya lelah.

Pernah satu malam dia datang padaku dalam keadaan mabuk. Menangis. Menyesal karena menyakiti Dira.

“Aku bodoh, Ra... kenapa sih aku selalu ngerusak hubungan yang bagus?”

Aku ingin menjawab, “Mungkin karena yang kamu pertahankan bukan yang kamu butuhkan.”
Tapi aku hanya bisa memeluknya. Dalam diam. Dalam luka.

Karena perempuan yang terlalu mencintai sering kali lupa bagaimana caranya menyelamatkan dirinya sendiri.

Sampai Aku Ingin Menyerah

Di ulang tahunku yang ke-24, aku memutuskan untuk pergi. Bukan pergi secara fisik, tapi secara emosi. Aku mulai jarang membalas pesannya. Tidak lagi tersedia setiap kali dia butuh. Aku mulai menjaga jarak. Belajar mencintai diriku sendiri lagi.

Dan untuk pertama kalinya, aku mulai dekat dengan orang lain. Seorang rekan kerja bernama Galang. Baik, dewasa, dan menyukai aku—tanpa membuatku bertanya-tanya setiap hari.

Saat Nino tahu aku mulai dekat dengan orang lain, dia diam beberapa hari. Lalu tiba-tiba menghubungiku.

“Ra… kamu lagi deket sama cowok ya?”

“Iya. Kenapa?”

“Ya… cuma nanya aja. Kayaknya kamu beda sekarang.”

Aku hanya tersenyum. “Aku juga capek, Nino. Aku udah cukup lama nunggu seseorang yang gak pernah lihat aku sebagai pilihan.”

Akhirnya, Dia Mengaku

Dua bulan kemudian, Nino datang ke kantorku. Tiba-tiba. Membawa bunga. Wajahnya panik, matanya basah.

“Aku... aku gak bisa, Ra. Aku gak bisa lihat kamu sama orang lain.”

Aku terdiam.

“Aku salah. Aku bodoh. Ternyata selama ini yang aku cari... ya kamu.”

Dan untuk pertama kalinya, aku menangis—bukan karena luka, tapi karena dilema.

Karena ternyata… dia datang terlambat.

Cinta yang Tak Lagi Sama

“Aku udah berjuang terlalu lama, Nino,” ucapku pelan. “Aku nunggu kamu bertahun-tahun, berdiri di tempat yang sama, berharap kamu akan balik dan bilang kamu lihat aku.”

“Dan sekarang aku di sini.”

“Ya. Tapi hatiku... udah gak sepenuhnya di tempat yang sama.”

Kami duduk di bangku taman. Sunyi. Dunia seolah berhenti sebentar, memberi ruang untuk dua orang yang terlalu lama saling menyayangi dalam arah yang tak pernah sejajar.

“Aku cinta kamu, Nino. Tapi aku juga cinta diriku sendiri sekarang. Dan mencintai kamu berarti kembali ke rasa sakit yang dulu.”

Dia menggenggam tanganku. “Apa aku terlambat?”

Aku mengangguk. “Iya. Tapi setidaknya sekarang aku tahu... kamu pernah ingin memilih aku, meski hanya di akhir cerita.”

Epilog: Mencintai Tanpa Memiliki

Tidak semua cinta harus memiliki akhir yang bahagia. Beberapa cinta hanya hadir untuk mengajarkan kita betapa kuatnya hati saat bertahan—dan betapa bijaknya hati saat melepaskan.

Aku dan Nino masih saling kenal. Sesekali bertukar kabar. Tapi tidak lagi saling berharap.

Karena akhirnya, aku memilih untuk mencintai seseorang yang melihatku sejak awal. Yang tidak membuatku bertanya-tanya setiap hari, “Apakah aku cukup?”

Dan itulah akhir dari cinta bertepuk sebelah hati—cinta yang diam-diam membunuh kita perlahan, sampai kita belajar mencintai diri kita lebih dari siapa pun.

Hashtag:

#CerpenSedih #CintaBertepukSebelahHati #CintaTakTerbalas #CeritaCinta #PatahHati #RomantisSedih #CintaDiamDiam #CintaTakHarusMemiliki


Daftar Isi
Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis