Bukan Perpisahan yang Kutangisi, Tapi Pertemuan yang Kusesali

Aku masih ingat betul aroma sore itu ketika langit mulai menua dan cahaya mentari perlahan redup di balik pepohonan kampus. Suara langkah sepatu di lorong panjang terasa bergaung, dan di sanalah aku pertama kali melihatnya: lelaki dengan kemeja putih, senyum yang tidak terburu-buru, dan tatapan yang entah kenapa terasa seperti rumah bagi jiwaku yang lelah.

Namanya Arga.
Seorang mahasiswa tingkat akhir di jurusan yang sama denganku. Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi setiap kalimatnya seperti disusun dengan hati-hati, seolah ia tahu kata-kata bisa menumbuhkan atau menghancurkan seseorang.

Pertemuan itu seharusnya biasa saja. Kami hanya sama-sama menunggu dosen yang tak kunjung datang. Tapi percakapan ringan tentang tugas makalah menjelma jadi perbincangan panjang tentang musik, hujan, dan filosofi hidup yang kami baca di buku-buku lama.

Dan dari situlah semuanya dimulai.

Bukan Perpisahan yang Kutangisi, Tapi Pertemuan yang Kusesali

Semua Berawal dari Tatapan

Arga bukan tipe pria yang mudah ditebak. Ia bisa diam selama berjam-jam, namun sekali bicara, rasanya dunia berhenti sebentar untuk mendengarkan. Aku tertarik bukan karena wajahnya—meskipun ia memang menarik—tetapi karena cara dia memperlakukan dunia.

Ia tidak pernah menuntut perhatian. Ia memberi ruang bagi setiap orang untuk menjadi diri sendiri, termasuk aku.
Mungkin itu sebabnya aku jatuh cinta begitu dalam, tanpa sadar, tanpa peringatan.

Hari-hari setelah itu kami semakin dekat. Kami sering bertemu di perpustakaan, berdiskusi tentang film, atau sekadar minum kopi di sudut kantin yang jarang didatangi orang. Dalam setiap percakapan, aku menemukan bagian diriku yang selama ini hilang.

Aku merasa hidup kembali.

Namun, cinta yang tumbuh diam-diam sering kali tidak punya tempat untuk berakar kuat.
Dan aku terlalu naif untuk menyadarinya.

Di Antara Bahagia dan Ragu

Hubungan kami tidak pernah benar-benar diberi nama. Kami hanya dua orang yang saling mencari alasan untuk bertemu, saling menunggu pesan “sudah makan belum?” dan saling rindu tanpa perlu mengakuinya.

Sampai suatu hari, Arga berkata sesuatu yang membuat jantungku berdetak dengan nada yang lain.

“Kadang, aku takut kalau semua ini cuma sementara,” katanya, sambil menatap secangkir kopi yang mulai dingin.

Aku tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupan.

“Kenapa harus takut? Semua hal di dunia ini memang sementara, kan?”

Ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang dalam.

“Aku cuma takut kalau akhirnya yang sementara ini harus aku lepaskan dengan cara yang menyakitkan.”

Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk, menatap meja, pura-pura sibuk mengaduk kopi yang sudah tak panas lagi. Dalam hati, aku tahu, kalimat itu bukan sekadar kekhawatiran. Itu semacam firasat.

Dan firasat itu… benar adanya.

Saat Dunia Mulai Berubah

Semester baru datang, dan begitu juga jarak di antara kami.
Arga diterima magang di luar kota—jauh dari tempat kami biasa bertemu.
Hari-hari yang dulu penuh percakapan, kini berganti dengan notifikasi pesan yang semakin jarang.
Aku mulai belajar menerima bahwa jarak bisa menguji segalanya, bahkan sesuatu yang tak pernah diberi nama sekalipun.

Awalnya, kami masih berusaha.
Telepon setiap malam, pesan panjang yang tak berbalas cepat pun masih terasa hangat. Tapi waktu dan kesibukan mulai menciptakan celah di antara kami. Arga berubah. Atau mungkin aku yang berubah.

Sampai pada suatu sore, pesan darinya datang:

“Ma, boleh aku jujur?”

Aku mengernyit. “Tentu, kenapa?”

Pesan berikutnya datang setelah beberapa menit, dan setiap kata di dalamnya seperti menghantam dadaku tanpa ampun.

“Di tempat magang ini… aku bertemu seseorang. Aku gak tahu harus gimana, tapi dia baik, dan aku gak mau bohong kalau aku mulai nyaman.”

Aku terdiam lama.
Seketika dunia seperti kehilangan warna.

Aku tidak marah. Anehnya, aku malah merasa tenang—tenang yang aneh, seperti laut sebelum badai datang.
Aku hanya menjawab singkat:

“Kalau itu membuatmu bahagia, aku gak akan menghalangi.”

Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya. Tapi yang lebih menyakitkan dari air mata adalah kenyataan bahwa aku tidak punya hak apa pun untuk menahannya. Kami tidak pernah punya status. Kami hanya dua hati yang saling singgah, tapi tidak pernah benar-benar memiliki rumah.

Luka yang Tidak Pernah Sembuh

Beberapa bulan berlalu, dan aku mulai terbiasa hidup tanpa pesan darinya. Tapi ada hari-hari di mana aku masih mencari namanya di notifikasi, berharap ada satu pesan yang mengatakan ia kembali.

Namun itu tak pernah terjadi.

Aku melihat foto-fotonya di media sosial bersama gadis itu dan setiap kali melihat senyum mereka, aku merasa seperti menonton ulang kenangan yang dulu aku miliki. Tapi kini, pemeran utamanya bukan aku lagi.

Aku mencoba sibuk dengan banyak hal. Kuliah, organisasi, pekerjaan sambilan semuanya kulakukan untuk menutupi lubang di dadaku yang kian membesar. Tapi semakin aku berlari dari kenangan, semakin ia memburuku dalam mimpi.

Sampai suatu malam, aku menulis surat panjang.
Bukan untuk dikirim, tapi untuk mengobati diri sendiri:

“Arga, aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Aku hanya menyesal karena semesta mempertemukan kita di waktu yang salah.
Aku tidak marah kau pergi, tapi aku benci kenyataan bahwa aku masih berharap kau kembali.”


Ketika Takdir Mempertemukan Lagi

Dua tahun kemudian, aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah pameran seni. Ia datang bersama teman-temannya, dan aku datang sendirian. Waktu seolah berhenti ketika mata kami bertemu.

Ia masih sama—senyum itu, cara menatap itu—tapi kini ada sesuatu yang berbeda: ia sudah milik orang lain.

Kami sempat berbincang ringan, seolah masa lalu tak pernah ada. Ia menanyakan kabarku, dan aku menjawab dengan tenang. Tapi jauh di dalam hati, badai kembali berputar.

Sebelum berpisah, ia berkata:

“Kamu tahu, aku sering mikir… kalau waktu bisa diulang, mungkin aku akan memilih tetap di sini, sama kamu.”

Aku tersenyum. “Jangan begitu, Ga. Kita sudah di tempat masing-masing sekarang.”

Ia menatapku lama, lalu mengangguk pelan.

“Mungkin kamu benar.”

Dan setelah itu, ia pergi.

Tinggal aku yang berdiri di tengah keramaian, dengan dada yang kembali sesak oleh kenangan yang seharusnya sudah mati.

Aku Akhirnya Mengerti

Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, aku mengerti sesuatu yang dulu tak bisa kupahami:
Tidak semua orang yang datang dalam hidup kita dimaksudkan untuk tinggal. Beberapa hanya datang untuk mengajarkan bagaimana cara melepaskan, tanpa kebencian.

Aku tidak lagi menangisi perpisahan kami. Air mata sudah kering sejak lama.
Yang masih tertinggal hanyalah sesal—bukan karena ia pergi, tapi karena aku pernah berharap terlalu dalam pada seseorang yang hanya dititipkan sebentar oleh waktu.

Dan di sanalah aku menyadari satu hal yang paling jujur dalam hidupku:

“Bukan perpisahan yang kutangisi, tapi pertemuan yang kusesali.”

Karena andai aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan tahu rasanya kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar kumiliki.

Tapi di sisi lain… andai aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku juga tidak akan tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang sepenuh hati.

Tentang Luka yang Menjadi Pelajaran

Setiap cinta yang gagal selalu meninggalkan dua hal: luka dan pelajaran. Luka mengajarkan kita untuk berhati-hati, sementara pelajaran mengajarkan bahwa tidak semua rasa harus dimiliki untuk bisa berarti.

Arga mungkin sudah lama jadi masa lalu, tapi bayangannya tetap hidup di beberapa sudut ingatanku. Kadang muncul saat aku mendengar lagu favorit kami, atau mencium aroma hujan pertama.
Namun kini, aku tidak lagi menangis.

Aku belajar tersenyum pada kenangan, seperti menatap foto lama yang warnanya mulai pudar.
Ada rasa rindu, tapi juga ada penerimaan.

Aku tahu, suatu hari nanti aku akan bertemu seseorang yang membuatku mengerti kenapa Arga hanya mampir. Karena setiap kehilangan yang menyakitkan hanyalah jalan menuju cinta yang sesungguhnya.

Penutup yang Tidak Sempurna, Tapi Jujur

Aku menulis kisah ini bukan untuk mengingat luka, tapi untuk menghormati perasaan yang pernah hidup di dalamnya.
Setiap detik yang kulewati bersama Arga mungkin tidak berakhir bahagia, tapi itu nyata. Dan bagiku, yang nyata lebih berharga dari apa pun yang sempurna tapi semu.

Kini, setiap kali aku memandang langit sore, aku tidak lagi melihat kenangan yang menyesakkan.
Aku hanya melihat diriku sendiri lebih kuat, lebih matang, dan lebih tenang.

Cinta, ternyata, bukan soal memiliki.
Cinta adalah tentang mengikhlaskan seseorang yang pernah membuatmu bahagia, tanpa menuntut untuk kembali.

Dan kalau suatu hari aku harus bertemu dengan Arga lagi, aku tahu, tidak akan ada air mata.
Hanya senyum kecil dan bisikan lembut di dalam hati:

“Terima kasih, pernah datang… meski akhirnya, aku harus belajar menyesali pertemuan itu.”

Epilog

Waktu telah mengajarkan bahwa tidak semua kisah cinta diciptakan untuk berakhir di pelaminan. Beberapa kisah justru berakhir di dalam diri—menjadi bagian dari perjalanan menuju versi terbaik dari kita sendiri.

Dan aku…
Aku tidak lagi mencari siapa yang harus disalahkan.
Aku hanya belajar untuk tidak lagi menyalahkan semesta karena telah mempertemukan kami.

Karena mungkin, memang begitulah takdir bekerja:
Ia memberi kita seseorang untuk kita cintai, bukan untuk dimiliki, melainkan untuk membuat kita mengerti makna kehilangan dan keberanian untuk melepaskan.

Jadi, ketika aku menatap langit malam dan mengingat Arga, aku tidak lagi bertanya “kenapa harus berpisah”.
Aku hanya berbisik pelan pada diri sendiri:

“Bukan perpisahan yang kutangisi… tapi pertemuan yang kusesali.”

Namun, bahkan dari penyesalan itulah aku belajar mencintai hidup—dengan seluruh luka, kehilangan, dan keindahan yang menyertainya. 

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis