Aku tak pernah menyangka cinta bisa terasa begitu penuh... dan kosong dalam waktu yang sama.
Bersama Raka, aku merasa hidup lagi. Tapi setiap kali aku menatap masa depan, ada tembok tinggi yang selalu menghalangi: restu yang belum juga datang.
Hari-hari berlalu, kami masih berkomunikasi. Tapi semuanya berubah perlahan. Nada suaranya tak lagi seantusias dulu, pesan-pesan mulai jarang dibalas cepat, dan pertemuan menjadi semakin singkat.
Aku tahu... hubungan kami sedang berada di persimpangan.
Konflik yang Menyesakkan
Suatu malam, Raka menelpon.
“Aku habis ngobrol serius sama Ibu,” katanya. “Aku bilang aku mau serius sama kamu.”
“Dan?” tanyaku dengan jantung berdebar.
“Ibu masih belum bisa terima. Dia bilang dia gak bisa bayangin aku nikah sama orang yang 'gak satu dunia'.”
Kalimat itu menancap di hatiku seperti anak panah. Bukan hanya menyakitkan—tapi juga menyadarkanku betapa berat perjuangan ini.
“Jadi... kamu bakal ikut kata Ibu?” suaraku nyaris tak terdengar.
Raka terdiam lama.
“Aku... gak tahu harus bagaimana.”
Diam yang Lebih Menyakitkan dari Kata Putus
Selama tiga hari, Raka tidak menghubungiku. Tidak ada kabar, tidak ada penjelasan, hanya sunyi yang menggantung seperti awan gelap.
Aku mencoba kuat. Mencoba tidak bertanya. Tapi malam keempat, aku tidak tahan. Aku mengirim satu pesan singkat:
“Kalau kamu gak bisa berjuang lagi, katakan. Aku bisa pergi—tapi jangan biarkan aku menunggu dalam ketidakpastian.”
Beberapa jam kemudian, balasan masuk.
“Maaf, Nay. Aku sayang kamu. Tapi aku gak cukup kuat melawan semuanya.”
Dan di situlah akhirnya kami sampai.
Perpisahan Kedua
Kami bertemu sekali lagi. Di taman yang sama, tempat kami dulu pertama kali bertemu kembali. Hujan turun gerimis, seolah ikut meresapi luka kami.
“Aku gak pernah menyesal balik ke kamu,” kata Raka.
“Aku juga,” jawabku pelan. “Tapi mungkin cinta aja gak cukup ya?”
“Cinta itu penting. Tapi kadang cinta juga harus tau kapan harus menyerah... demi kebaikan.”
Kami berpelukan untuk terakhir kalinya. Tidak ada air mata berlebihan. Tidak ada kata-kata kasar. Hanya keheningan yang menyesakkan dan rasa ikhlas yang terpaksa.
Setelah Kepergian
Hari-hari setelahnya berjalan lambat. Aku menghapus chat kami, menyimpan foto-foto di folder terpisah, dan menonaktifkan notifikasi dari media sosialnya. Bukan karena benci. Tapi karena aku butuh ruang untuk sembuh.
Aneh ya... Kita bisa kehilangan orang yang begitu kita cintai, bukan karena salah siapa-siapa, tapi karena takdir yang tak berpihak.
Namun kali ini aku tidak marah. Aku tidak menyalahkan semesta. Karena aku tahu, aku dan Raka sudah berjuang sejauh mungkin. Kami sudah mencoba, memberi, dan mengikhlaskan.
Luka yang Tak Lagi Berdarah
Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke rutinitas. Kerja, menulis, dan memeluk hidup dengan cara baru. Ada ruang kosong, tentu. Tapi tidak lagi menyakitkan.
Terkadang aku melihat ke langit dan bertanya, “Kalau kami dipertemukan lagi nanti, apakah kamu akan memilihku sepenuhnya?”
Tapi lalu aku sadar, bukan itu intinya.
Cinta tidak selalu harus berujung bersama. Kadang, cinta sejati adalah saat kita mampu membiarkan seseorang pergi, karena tahu kebahagiaannya bukan bersama kita.
Dan itu... cukup.
Epilog Serial CLBK: Tak Semua yang Kembali Harus Dipegang Selamanya
CLBK bukan tentang kembali dan menjalin kisah yang sama. Tapi tentang menguji apakah dua hati yang pernah patah masih bisa berdetak di irama yang sama.
Kadang jawabannya iya. Kadang tidak.
Aku dan Raka adalah dua cerita yang pernah menyatu. Tapi tidak semua cinta harus menjadi akhir dari sebuah dongeng bahagia. Beberapa hanya hadir untuk menjadi pengingat bahwa kita pernah hidup—pernah mencintai dengan sepenuh hati.
Dan itu sudah luar biasa.
Hashtag:
#CLBK #CintaLamaBersemiKembali #AkhirCinta #PatahHatiDewasa #CintaIkhlas #CintaKedua #DiaryCinta #Episode6 #SerialCinta #BlogRomantis
