Tatapan yang Membuka Luka dan Harapan
Pagi itu, cahaya mentari menembus tirai jendela ruanganku yang setengah terbuka. Langit Jakarta tampak seperti kanvas besar, dibubuhi warna oranye muda dan abu tipis dari debu yang melayang pelan. Aku duduk di balik meja kerja, dengan secangkir kopi hitam yang mulai kehilangan hangatnya. Di layar laptop, angka dan laporan terus berbaris seperti pasukan tak berperasaan, menuntut perhatian penuh, tapi mataku entah kenapa terus menatap ke arah pintu.
Dan di situlah dia — Senia.
Sekretarisku.
Perempuan yang entah sejak kapan menjadi poros di balik keteraturan hidupku yang berantakan.
“Selamat pagi, Pak Tama,” suaranya lembut, tapi cukup untuk menggetarkan sesuatu yang lama beku di dalam dada.
Dia datang dengan setumpuk berkas di tangan, wangi parfumnya seperti campuran melati dan hujan pertama yang jatuh di taman — sederhana tapi menenangkan.
Aku mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan getar di suara. “Pagi, Senia. Ada laporan dari tim marketing?”
“Sudah saya susun, Pak. Saya juga tambahkan catatan kecil di bagian akhir, mungkin bisa Bapak pertimbangkan.”
Nada bicaranya sopan, tapi tatapan matanya dalam. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalitas.
Entah sejak kapan aku mulai terpincut sama sekretarisku yang cantik banget ini.
Awalnya hanya kekaguman ringan — pada ketelitian, pada caranya bicara pelan tapi pasti, pada tatapan yang seakan mengerti tanpa perlu dijelaskan. Tapi hari demi hari, kekaguman itu berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit, lebih dalam, dan lebih berbahaya.
Sebuah perasaan yang seharusnya tidak tumbuh di ruang kerja.
Aku masih ingat pertemuan pertama kami setahun lalu. Waktu itu dia datang melamar pekerjaan dengan map biru di tangan, mengenakan kemeja putih sederhana dan senyum yang menenangkan. Ada ratusan pelamar lain, tapi entah kenapa mataku berhenti di wajahnya. Ada sesuatu di sana — kelembutan yang tak dibuat-buat, kejujuran yang terasa dari caranya menatap. Dan ketika dia berbicara, suaranya menyalakan sesuatu di dadaku yang selama ini padam.
Kini, setelah setahun bekerja bersamaku, aku tak tahu bagaimana harus bersikap.
Setiap pagi, langkah kakinya yang terdengar di lorong kantor seperti melodi yang kutunggu. Setiap kali dia mengetuk pintu ruanganku, dunia seakan berhenti sebentar.
Aku mencoba berpura-pura tenang, tapi dalam hati aku tahu — aku jatuh cinta.
Dan aku jatuh dalam diam yang indah sekaligus menyakitkan.
---
Hari itu kami makan siang bersama di kantin kantor. Bukan sesuatu yang luar biasa, tapi bagiku, waktu itu menjadi momen yang tersimpan rapi di ruang ingatan.
Dia duduk di hadapanku, menunduk sesekali, memainkan sendok kecil di tangannya.
“Pak Tama, boleh saya tanya sesuatu?” katanya tiba-tiba.
Aku menegakkan badan. “Tentu, apa saja.”
“Kenapa Bapak selalu datang paling pagi dan pulang paling malam?”
Aku tertawa kecil, mencoba ringan. “Mungkin karena saya tidak punya alasan untuk pulang cepat.”
Dia terdiam. Ada cahaya sedih di matanya.
“Berarti... Bapak sendirian?”
Aku mengangguk, pelan.
“Sudah lama,” jawabku.
Sejak percakapan itu, hubungan kami perlahan menjadi lebih hangat. Tidak melanggar batas, tapi juga tidak sepenuhnya formal. Ada perhatian kecil yang mulai tumbuh — secangkir teh hangat yang tiba-tiba muncul di meja saat aku terlihat lelah, pesan singkat mengingatkan agar aku makan, atau tatapan singkat yang cukup untuk membuat jantungku berdetak tak karuan.
Aku tahu, di dunia kerja, ada batas yang tak boleh dilewati. Tapi cinta tak mengenal struktur organisasi.
Dan aku, tanpa sadar, sudah terlalu jauh berjalan di jalan yang tak seharusnya kulalui.
---
Sore itu, hujan turun perlahan. Kantor sudah mulai sepi. Aku masih di ruanganku, menatap layar yang tak lagi bisa kusentuh.
Tiba-tiba pintu diketuk.
“Masih di sini, Pak?” suara Senia terdengar.
Aku menoleh, dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan payung kecil di tangan.
“Hujan deras, Pak. Saya takut Bapak kehujanan kalau pulang tanpa jas hujan.”
Aku tersenyum. “Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Menunggu hujan reda... dan Bapak juga,” katanya pelan.
Aku menatapnya. Ada sesuatu di antara kami saat itu — keheningan yang dipenuhi perasaan tak terucap. Hujan di luar seperti irama lembut yang menyamarkan detak jantungku.
“Senia...”
“Iya, Pak?”
Aku ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidah.
Hanya mata kami yang bicara. Dan dalam tatapan itu, aku tahu — dia juga merasakan hal yang sama.
---
Namun, cinta di dunia nyata tak semudah dalam puisi.
Hari-hari berikutnya, gosip mulai berhembus pelan di kantor. Beberapa rekan menatap kami dengan senyum setengah sinis. Ada bisik-bisik kecil setiap kali kami berjalan berdekatan.
Aku mencoba mengabaikan, tapi aku tahu Senia mulai gelisah.
“Saya tidak ingin orang salah paham, Pak,” katanya suatu sore.
Aku terdiam, tak bisa menahan rasa bersalah. “Maaf, Senia. Aku tak pernah bermaksud membuatmu tidak nyaman.”
Dia menunduk, suaranya bergetar. “Bukan itu, Pak. Hanya saja... saya takut perasaan ini akan menghancurkan kita berdua.”
Aku menatapnya lama.
“Jadi kamu...”
Dia tak melanjutkan. Tapi matanya yang berkaca-kaca sudah menjawab semuanya.
---
Malam itu aku pulang dengan langkah berat.
Di apartemen yang sepi, aku duduk di balkon, menatap lampu kota yang berkelip.
Hujan baru saja reda, tapi aroma air masih tertinggal di udara.
Aku menatap ponselku — ada pesan dari Senia:
> “Terima kasih untuk semuanya, Pak Tama. Saya bersyukur bisa bekerja dengan Bapak.”
Ada sesuatu dalam pesan itu yang terasa seperti perpisahan.
Dan entah kenapa, hatiku bergetar hebat.
Aku baru sadar...
Mungkin cinta ini datang di waktu yang salah, tapi aku tidak menyesal telah menjatuhkan hati padanya.
Bayangan di Balik Senyum Senia
Hidup, kadang terasa seperti rapat yang tak pernah selesai. Setiap keputusan, setiap perasaan, harus melewati pertimbangan dan tanda tangan nurani. Tapi bagaimana jika perasaan itu sendiri tak mau tunduk pada aturan?
Sejak pesan malam itu, Senia seperti menarik diri perlahan. Dia masih datang ke kantor seperti biasa, masih tersenyum, masih menjalankan tugasnya dengan sempurna. Tapi senyum itu kini berbeda — bukan lagi senyum yang hangat, melainkan senyum yang menjaga jarak.
Setiap kali aku memanggilnya, dia datang dengan sopan tapi cepat berlalu.
Setiap kali aku berusaha berbicara lebih lama, dia selalu punya alasan untuk segera kembali ke meja kerjanya.
Dan di antara keheningan itu, hanya matanya yang sesekali tak bisa berbohong. Ada rindu yang menahan diri, ada kasih yang sengaja disembunyikan.
Aku tahu, kami sedang saling melindungi — tapi dalam diam itu, hatiku perlahan remuk.
---
Suatu pagi, aku datang lebih awal dari biasanya.
Kantor masih kosong, hanya suara pendingin ruangan yang berdengung lembut. Saat aku melangkah ke ruanganku, kulihat sesuatu di meja: setangkai mawar putih, terselip di atas agenda kerja.
Tak ada catatan, tak ada nama.
Tapi aku tahu dari siapa.
Mawar putih itu seperti pesan tanpa suara — tanda cinta yang ingin tetap murni, tanpa melukai siapa pun. Aku tersenyum getir.
“Senia...” bisikku pelan.
Tepat saat itu, pintu diketuk.
“Pagi, Pak Tama.”
Dia berdiri di sana, seperti biasa — anggun dalam kesederhanaannya.
Aku hampir ingin berterima kasih atas bunga itu, tapi lidahku kelu. Aku takut salah menafsirkan, takut membuatnya semakin menjauh.
“Terima kasih sudah datang pagi-pagi,” ucapku akhirnya, mencari aman.
Dia tersenyum lembut. “Saya hanya ingin memastikan semua agenda Bapak hari ini sudah siap.”
Dan seperti itu, dia kembali tenggelam dalam peran profesionalnya, seolah tidak pernah ada mawar putih di meja itu.
---
Namun, semesta seperti punya cara menggoda hati yang sedang mencoba waras.
Hari itu kami harus berangkat bersama ke Bandung untuk menghadiri pertemuan dengan klien besar. Perjalanan tiga jam di mobil terasa seperti ujian bagi hatiku yang sedang menahan diri.
Senia duduk di sebelahku, mengenakan blouse biru muda yang senada dengan langit pagi. Rambutnya diikat sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat begitu... nyata.
Bukan sosok sempurna, tapi sosok yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan kendali hanya dengan satu senyum.
Kami berbicara seperlunya. Tentang pekerjaan, tentang laporan, tentang hal-hal kecil yang aman. Tapi di sela percakapan, ada jeda panjang yang dipenuhi sesuatu yang tak diucapkan.
Kadang, aku ingin berhenti di tengah jalan, menatapnya, dan mengatakan semuanya. Tapi aku tahu, satu kalimat jujur bisa menghancurkan segalanya.
---
Sore itu, setelah rapat selesai, kami berdua duduk di balkon hotel, menatap langit yang mulai berwarna jingga.
Angin membawa aroma kopi dari kafe di bawah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu lalang.
Senia tampak lelah, tapi tetap cantik.
“Bapak tidak takut sendirian terus?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lirih.
Aku menatapnya. “Sendiri itu biasa. Tapi... kadang aku takut kehilangan seseorang yang bahkan belum benar-benar kumiliki.”
Dia menunduk, jemarinya memainkan tali masker yang tergantung di tangan.
“Kadang, cinta datang di waktu yang salah, Pak.”
Aku menghela napas panjang. “Dan kita hanya bisa memilih: melawan hati, atau kehilangan kendali.”
Hening.
Lalu matanya menatapku — begitu dalam, begitu dekat.
Detik itu, aku ingin melupakan segalanya. Jabatan, status, aturan. Aku hanya ingin memeluknya, mengakui semuanya, dan menyerahkan diri pada rasa yang sudah lama menyesakkan dada.
Tapi cinta yang dewasa sering kali berarti menahan diri, bukan melampiaskan.
Aku tersenyum getir. “Kamu tahu, Senia? Aku... terpincut sama sekretarisku yang cantik banget. Tapi lebih dari itu, aku takut menghancurkan ketenangan yang kamu punya.”
Dia terdiam. Air mata menggenang di matanya.
“Jangan bilang begitu, Pak. Kalau saya dengar, saya bisa lemah.”
Aku menatap langit yang mulai gelap, mencoba menyembunyikan luka di dada.
“Kita berdua sudah terlalu jauh untuk mundur, tapi terlalu waras untuk melangkah lebih jauh.”
Dia mengangguk, dan menatap ke arah jalanan yang mulai diselimuti kabut.
“Kalau suatu hari saya tidak di sini lagi, tolong jangan cari saya, Pak. Saya ingin Bapak tenang.”
Kata-katanya menusuk seperti hujan dingin yang tiba-tiba jatuh di tengah senja.
Aku ingin bertanya apa maksudnya, tapi Senia hanya tersenyum — senyum yang lembut, tapi anehnya terasa seperti perpisahan.
---
Malamnya, aku duduk sendirian di kamar hotel. Ponselku bergetar, pesan dari Senia masuk.
> “Terima kasih, Pak. Hari ini saya belajar bahwa cinta tak harus memiliki.”
Aku menggenggam ponsel itu erat, seperti menggenggam udara yang perlahan menghilang.
Dalam diam, aku tahu: sesuatu di antara kami sudah retak.
Bukan karena salah satu berhenti mencinta, tapi karena dunia kami memang tak bisa disatukan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku takut besok pagi akan terasa terlalu sunyi — meski matahari masih terbit di tempat yang sama.
Baik 🌧️
Sekarang kita sampai pada bagian terakhir — Bab 3, bab yang paling emosional.
Di sini, kisah Tama dan Senia mencapai puncaknya: tentang cinta yang tak sempat dimiliki, tapi tak pernah benar-benar hilang.
Bahasanya tetap puitis, romantis, dan lembut, dengan akhir sedih tapi berkesan, seperti kamu minta.
Hujan yang Menghapus Jejak Senyum
Sudah tiga minggu sejak perjalanan ke Bandung itu, dan kantor kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Langkah-langkah yang biasanya terdengar ringan di pagi hari — langkah Senia — kini hilang begitu saja, digantikan oleh keheningan yang menusuk.
Hari itu, aku datang seperti biasa. Membuka pintu ruanganku, duduk di balik meja, menatap layar kosong. Tapi kali ini, tidak ada secangkir teh di pojok meja. Tidak ada suara lembut yang menanyakan apakah aku sudah sarapan.
Yang ada hanya udara dingin dan rasa rindu yang menumpuk seperti debu di sudut ruangan.
Senia tidak masuk kerja. Sudah seminggu.
Awalnya aku kira dia hanya sakit ringan. Tapi hari berganti, kabar tak juga datang.
Aku mencoba menahan diri, tapi akhirnya aku tak kuat. Aku meneleponnya — nomor yang dulu sering muncul di layarku setiap kali ada urusan kantor.
Namun, kali ini yang kudengar hanya suara operator: “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”
Rasa sesak menjalar. Aku menatap jendela kaca besar di ruanganku, tempat biasa Senia berdiri menatap hujan.
Dan entah kenapa, hari itu langit kembali mendung. Seolah ikut merasakan kehilangan yang sama.
---
Sore itu, aku memanggil staf HR.
“Bisa tolong cari tahu kabar Senia?” tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.
Beberapa jam kemudian, mereka kembali membawa kabar.
“Senia sudah mengundurkan diri, Pak. Suratnya dikirim lewat pos minggu lalu.”
Aku terdiam.
Kertas putih dengan tulisan rapi itu kini tergeletak di meja kerjaku.
Surat pengunduran diri yang ditulis dengan tangan, bukan diketik seperti kebanyakan.
Tulisan yang kukenal — lembut dan bersih, tapi kali ini terasa dingin.
> “Terima kasih, Pak Tama, sudah menjadi pemimpin yang baik dan manusia yang lembut.
Saya mohon maaf jika kehadiran saya pernah mengganggu ketenangan Bapak.
Saya hanya ingin menjaga batas yang mulai kabur.
Semoga Bapak selalu bahagia, di mana pun berada.
Salam hormat,
Senia.”
Mataku berair. Huruf demi huruf terasa seperti serpihan kaca yang menembus dada.
Aku mencoba membaca ulang, tapi setiap kalimat terasa semakin berat.
Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan, hanya perpisahan yang disampaikan dengan sopan — seperti dia.
---
Malam itu, aku berjalan sendirian di bawah hujan.
Jakarta terlihat samar di balik kabut air, dan setiap langkahku terasa kosong.
Aku berhenti di depan halte tempat kami dulu pernah menunggu taksi bersama — saat dia tersenyum malu karena hujan membuat rambutnya berantakan.
Kini hanya ada bayangan samar di ingatan.
Bayangan tentang perempuan yang membuatku belajar bahwa cinta bisa hadir dalam keheningan, dan pergi tanpa suara.
Aku menatap ke langit.
Air hujan menetes di wajahku, tapi rasanya seperti air mata yang akhirnya berani jatuh.
“Senia...” bisikku.
Angin menjawab dalam dingin yang panjang.
---
Hari-hari setelahnya berjalan lambat.
Aku mencoba kembali fokus pada pekerjaan, mencoba menata ulang rutinitas tanpa kehadirannya.
Namun, di setiap berkas laporan yang kubuka, aku masih menemukan jejak tangannya — catatan kecil, coretan lembut di pinggir kertas, bahkan tanda tangan yang kini hanya menjadi kenangan.
Kadang aku berpikir, mungkin inilah hukuman bagi orang yang jatuh cinta di waktu yang salah.
Bukan kehilangan orang yang dicintai, tapi kehilangan kesempatan untuk sekadar mengatakan: Aku mencintaimu, tanpa tapi.
---
Tiga bulan kemudian, aku mendapat kabar dari teman kantor lama — Senia pindah ke kota kecil di Jawa Tengah.
Katanya, dia membantu usaha kecil keluarganya di sana.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tapi entah kenapa, kabar itu cukup membuat dadaku lega sekaligus hancur.
Dia baik-baik saja. Itu cukup.
Dan aku... hanya perlu belajar merelakan.
Aku menulis sebuah surat, tanpa alamat tujuan. Surat yang tidak pernah kukirim:
> “Senia,
Aku tidak tahu di mana kamu sekarang.
Tapi aku ingin kamu tahu, setiap pagi yang kutemui tanpa senyum kamu, selalu terasa kurang.
Aku tidak marah kamu pergi. Aku hanya sedih, karena ternyata cinta tidak selalu harus diperjuangkan — kadang cukup dikenang dengan ikhlas.
Kalau suatu hari kita bertemu lagi, aku ingin menyapamu tanpa luka.
Terima kasih sudah membuatku percaya lagi pada cinta.”
Surat itu kusimpan di laci meja kerja, di bawah map pertama yang dulu kamu bawa saat melamar pekerjaan.
Dan setiap kali aku membukanya, aku seperti bisa mendengar suaramu berkata: “Selamat pagi, Pak Tama.”
---
Suatu pagi di bulan Desember, hujan turun lagi.
Aku duduk di ruanganku, menatap jendela, dan entah kenapa, hari itu terasa berbeda.
Ada secarik amplop kecil di atas meja. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan tangan sederhana: “Untuk Pak Tama.”
Kutatap amplop itu lama, lalu perlahan kubuka.
Di dalamnya hanya ada selembar kertas dengan tulisan pendek:
> “Terima kasih sudah pernah mencintai saya dalam diam, Pak.
Saya bahagia pernah menjadi bagian dari hidup Bapak, meski hanya sebentar.
Semoga hujan tidak lagi terasa sepi untuk Bapak.
– S.”
Aku menatap tulisan itu lama sekali.
Lalu, tanpa sadar, aku tersenyum.
Air mata jatuh pelan di pipi, tapi untuk pertama kalinya, tidak terasa menyakitkan.
Hanya hangat.
---
Hari ini, aku belajar sesuatu:
Cinta yang sejati tidak selalu berakhir dengan memiliki.
Kadang, cinta yang paling tulus justru yang kita lepaskan, dengan doa yang baik, dengan kenangan yang tenang.
Aku menatap keluar jendela, ke arah langit yang mulai cerah setelah hujan panjang.
Dalam hati, aku berbisik:
“Terpincut sama sekretarisku yang cantik banget bukanlah kesalahan. Itu hanya cara semesta mengajariku arti kehilangan yang indah.”
Dan di tengah suara hujan yang perlahan reda, aku tahu — Senia tidak benar-benar pergi.
Dia hanya berubah menjadi kenangan yang selalu menemaniku setiap kali hujan datang.