Sebuah kisah nostalgia tentang cinta ketika di SMP—tentang perasaan pertama, kenangan manis, dan pelajaran cinta yang tak lekang oleh waktu.
Saat Hati Belajar Berdebar untuk Pertama Kali
Ada masa dalam hidup yang tak pernah benar-benar pudar meski waktu berjalan begitu jauh: masa ketika kita mengenal arti “cinta pertama.”
Bagi sebagian orang, cinta pertama datang saat SMA atau kuliah. Tapi bagiku, cinta itu hadir ketika di SMP—masa di mana seragam masih kebesaran, rambut masih acak-acakan, dan rasa malu masih lebih besar daripada keberanian.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan itu muncul. Yang kutahu, setiap kali melihatnya berjalan di koridor sekolah dengan rambut dikuncir dua, ada sesuatu di dadaku yang bergetar halus. Bukan sakit, bukan juga sedih—lebih seperti sesuatu yang hangat dan lembut, yang membuat hari terasa lebih hidup.
Itulah cinta ketika di SMP, perasaan polos yang tumbuh tanpa rencana, tapi tetap abadi di ingatan.
Awal Sebuah Tatapan
Namaku Raka, siswa kelas 8 di sebuah SMP negeri kecil di pinggiran kota Padang. Hari-hariku dulu sederhana—berangkat sekolah dengan sepeda butut, membawa bekal nasi goreng dari Ibu, dan duduk di bangku paling belakang bersama teman sebangku yang cerewet, Fajar.
Sampai suatu hari, wali kelas memperkenalkan murid baru:
“Anak-anak, ini Nadya, dia pindahan dari Bandung. Tolong bantu dia menyesuaikan diri, ya.”
Waktu itu, aku hanya menatap sekilas. Tapi entah kenapa, senyumnya seperti menahan waktu. Lesung pipinya muncul samar, matanya bening seperti pagi setelah hujan. Aku tak tahu apa namanya saat itu berarti cinta. Tapi setiap kali ia lewat, jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Hari-hari berikutnya, aku mulai memperhatikan hal-hal kecil. Cara dia menulis dengan tangan kiri, cara dia menunduk saat guru bertanya, cara dia tertawa pelan saat bersama teman-temannya.
Itu semua jadi pemandangan paling menarik di kelas.
Surat yang Tak Pernah Kukirim
Di masa itu, belum ada ponsel pintar. Yang ada hanya surat kertas bergaris yang dilipat rapi seperti origami.
Dan aku… menulis banyak sekali surat untuk Nadya.
Surat-surat yang tak pernah kukirim.
Isinya sederhana: sapaan, cerita tentang pelajaran yang sulit, bahkan puisi kecil yang kutulis diam-diam di belakang buku matematika.
> “Hai Nadya,
Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kamu tersenyum, dunia rasanya berhenti sebentar.”
Lucu, mungkin, jika dibaca sekarang. Tapi begitulah cinta ketika di SMP — jujur, polos, dan penuh keberanian yang setengah hati.
Setiap kali aku hampir memberinya surat itu, tanganku gemetar. Takut ditertawakan teman-teman, takut dia tahu, atau lebih buruk, takut dia tidak merasakan hal yang sama.
Akhirnya surat-surat itu hanya menumpuk di laci meja belajarku.
Hingga bertahun-tahun kemudian, aku masih menyimpannya—sebagai bukti bahwa aku pernah berani mencintai dalam diam.
Cinta yang Tumbuh di Tengah Ulangan dan Upacara
Cinta di usia SMP tidak selalu diisi dengan janji atau kata-kata manis. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana:
membantu menyalin catatan, meminjamkan penggaris, atau sekadar berdiri di sebelahnya saat upacara bendera.
Aku masih ingat, suatu pagi Nadya lupa membawa topi. Aku menawarkan punyaku.
Ia menatap sebentar, lalu berkata, “Kalau kamu nggak pakai nanti disuruh push-up, loh.”
Aku hanya tersenyum. “Nggak apa-apa, yang penting kamu nggak kena marah, kan?”
Detik itu, aku tahu: cinta bukan hanya tentang ingin memiliki, tapi tentang ingin melihat seseorang tersenyum, bahkan kalau harus kehilangan sesuatu.
Mungkin di mata orang lain itu hanya hal kecil. Tapi untukku, itu momen besar—sebuah kenangan yang menempel kuat di hati.
Perpisahan yang Membekas
Tiga tahun terasa cepat berlalu. Ujian nasional datang, dan setelah itu… perpisahan.
Hari itu sekolah mengadakan acara “Kenangan Manis” di aula. Semua orang berpakaian rapi, ada yang membawa bunga, ada yang saling bertukar kenang-kenangan.
Aku membawa satu surat terakhir untuk Nadya.
Kali ini, aku bertekad untuk memberikannya.
Ketika acara hampir selesai, aku mencarinya di antara kerumunan. Nadya sedang duduk bersama teman-temannya, mengenakan pita biru di rambutnya. Ia terlihat begitu cantik, seperti versi sempurna dari kenangan masa kecilku.
Aku berjalan mendekat, tapi sebelum sampai… seorang cowok datang lebih dulu. Mereka berbincang sebentar, lalu aku melihat Nadya tersenyum dan menerima sebuah kotak kecil dari cowok itu.
Aku berhenti di tengah langkah.
Surat di tanganku terasa berat.
Mungkin sudah terlambat.
Aku melangkah pergi tanpa sempat mengucap apa-apa.
Sepuluh Tahun Kemudian
Waktu berjalan cepat. Aku sudah bekerja di kota lain, menjalani hidup dengan rutinitas orang dewasa.
Suatu sore, saat iseng membuka media sosial, aku menemukan nama yang familiar di daftar “Orang yang Mungkin Kamu Kenal.”
Nadya.
Foto profilnya memperlihatkan seorang perempuan tersenyum di antara bunga-bunga.
Aku menatap layar cukup lama. Ada perasaan hangat yang muncul lagi—bukan cinta seperti dulu, tapi kenangan yang lembut.
Aku mengetik pesan singkat:
> “Hai, Nadya. Masih ingat aku, Raka, teman SMP?”
Pesanku dibaca, tapi tak langsung dibalas. Dua hari kemudian, notifikasi muncul:
> “Raka… tentu ingat. Lama banget ya. Gimana kabarnya?”
Dan percakapan panjang pun dimulai. Kami berbagi cerita tentang hidup masing-masing, tentang masa sekolah, dan akhirnya tertawa mengingat hal-hal kecil yang dulu terasa besar.
Aku tidak berniat mengulang masa lalu. Aku hanya ingin berterima kasih—karena cinta ketika di SMP itu telah mengajariku banyak hal tentang hati, keikhlasan, dan arti kenangan.
Makna di Balik Cinta Pertama
Banyak orang bilang cinta pertama itu tidak akan bertahan lama. Tapi menurutku, cinta ketika di SMP bukan tentang seberapa lama ia bertahan—melainkan seberapa dalam ia meninggalkan jejak.
Cinta itu mengajariku bahwa:
Kadang perasaan tak perlu dimiliki untuk bisa berarti.
Kadang kenangan yang tak selesai justru yang paling abadi.
Dan kadang, seseorang datang bukan untuk menetap, tapi untuk mengajarkan bagaimana cara mencintai.
Nadya mungkin bukan bagian dari masa depanku, tapi dia bagian penting dari siapa diriku hari ini.
Cinta pertama itu menjadi dasar untuk memahami bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang menghargai.
Kenangan yang Tetap Hidup
Kini, setiap kali aku lewat di depan sekolah lamaku, aku masih bisa merasakan aroma masa itu—cat tembok yang pudar, suara bel istirahat, dan tawa anak-anak yang berlari di lapangan.
Di sana, di antara kenangan masa remaja itu, aku pernah jatuh cinta untuk pertama kali.
Dan meski waktu sudah berjalan jauh, cinta ketika di SMP tetap menjadi bagian yang hangat di hatiku.
Cinta yang tidak pernah benar-benar berakhir, hanya berubah bentuk menjadi kenangan yang indah.
> Karena beberapa cinta memang tidak ditakdirkan untuk dimiliki,
tapi untuk dikenang dengan senyuman yang tulus.