CINTA BERSEMI DIKALA GERIMIS
CINTA BERSEMI DIKALA GERIMIS
By TONY HERMAN ABRAR
Aku menatap jauh menembus kegelapan malam yang semakin pekat karena hujan deras di luar sana. Perlahan kusibak daun pintu jendela surau hingga terbuka lebar, angin lembab menyapu muka dengan aroma menyegarkan. Kayu kusen sudah banyak termakan rayap serta dinding yang terbuat dari anyaman bambu terlihat lapuk termakan usia. Lampu petromak telah dua kali dipompa sejak magrib tadi. Itulah alat penerangan satu satunya untuk surau yang ukurannya kurang lebih 6 x 12 meter ini. Atapnya menggunakan seng, sementara lantai terbuat dari bilah bambu yang disusun rapi. Bentangan tikar anyaman daun pandan menjadi alasnya.
Anak anak mengaji tertawa riang saling berbagi cerita menunggu hujan reda. Bapak bapak duduk menyandarkan punggungnya pada dinding berbincang ringan sambil melinting daun enau kemudian diberi tembakau. Kaum wanita terlihat berkumpul di bagian belakang mengaji alquran mengisi waktu.
Aku memang terbiasa sholat magrib hingga isya di sini sambil membantu anak anak belajar mengaji. Hujan lebat sejak sehabis magrib mereda perlahan.
Ada beberapa anak dan orang dewasa mulai memberanikan diri menerobos hujan dengan menggunakan daun pisang dan daun talas sebagai pelindung ala kadarnya. Sebagian orang masih asik dengan urusan masing masing mungkin akan menunggu hujan betul betul reda.
Suara hewan malam ditambah dengan laron yang berterbangan mengantarkan lamunanku semakin jauh menerawang. Tapi suara pangilan lembut mengoyak hayalku dan langsung menoleh.
“ Belum pulang,” tanya Fatimah teman sebayaku dengan melontarkan senyum khasnya.
“Oh Fatimah,kau mau pulang? Ada membawa payung? Aku balik bertanya.
“Ndak,”jawabnya singkat tapi matanya tetap memadangku.
“ Kalau begitu aku akan mengantarmu, kebetulan aku membawa payung , ujarku yang langsung bergerak bersiap siap. Fatimah hanya diam tapi bahasa tubuhnya memberi tanda persetujuan.
Fatimah adalah sahabatku dari kecil, matanya teduh dengan bulu mata yang lentik. Alis matanya indah tersusun. Ia masih menggunakan kerudung putih dengan hiyasan bordir serta memakai kain sarung batik wanita.
Aku mengeluarkan senter guna menerangi jalan perkampungan yang kami lalui, kadang harus menepi menghindari genangan air. Bahkan kami sempat terperosok, karena tidak menyangka genagan itu merupakan becek berlumpur. Listrik masih dinikmati oleh warga yang rumahnya di pinggir jalan raya, sementara kami yang dalam perkampungan menggunakan petromak dan lampu simporong. Jalan perkampungan belum ada yang di aspal, bila musim hujan seperti sekarang jalanan menjadi becek dan susah dilalui. Payung ini sebenarnya terlalu kecil bila digunakan berdua, kadang kami harus berdesakan untuk menghindari gerimis yang masih tetap turun.
Aku tertangkap oleh Fatimah ketika mataku menatap wajahnya dalam keremangan.
“Kenapa menatapku begitu?” tanyanya tersipu.
“Gak apa apa, bagaimana kalau kita ke makan miso dulu ke lobuah?” ucapku mengajak, sekalian mengalihkan perhatian Fatimah akan pandangan tadi.
“Wah pas, dingin dingin begini enak makan miso tambah dengan kripik,” jawab Fatimah sumaringah.
Lobuah adalah Bahasa daerah . Artinya jalan raya satu satunya yang melintasi desa, sedangkan miso merupakan makanan khas kampung yakni mi putih kemudian disiram air kaldu daging. Disajikan panas panas. Sama halnya seperti bakso tanpa daging bulat bulatnya.
Udara malam sehabis hujan semakin dingin dan segar. Warung penjual miso ramai dikunjungi orang orang, untung masih ada bangku kosong di bagian pojok, Aku dan Fatimah mendudukinya. Ternyata banyak juga teman teman kami yang makan miso di sini, kamipun bertegur sapa.
Di luar gerimis kecil masih turun membiaskan cahaya lampu, sangat indah dipandang.
“Aku menyukai hujan,” ujarku bergumam
“Aku juga suka hujan,” kata Fatimah ikut menimpali.
Kami saling pandang berbagi senyum
“Hujan mengingatkanku pada cinta pertama,”
“Oh ya pada siapa?” tanya Fatimah antusias, dia menatapku penuh keingintahuan
“Rahasia… cinta pertama tidak boleh diumbar umbar,” kataku. Jawaban yang membuat Fatimah penasaran.
Fatimah terus medesakku untuk berterus terang mengatakan pada siapa aku jatuh cinta. Aku hendak mengatakan tapi tiba tiba pesanan miso kami datang diantar pelayan.
“Silakan,” katanya dengan senyum kepada kami berdua
Aku dan Fatimah mulai mencicipi ,memberi cabe serta kecap pada mangkok miso.
Cuaca dingin, udara sejuk, malam tamaram dengan lampu yang membias karena gerimis menjadikan suasana makan miso ini begitu romantis. Ditambah lagi dari speker terdengar lembut lagu Sembilu yang dinyanyikan Ella, penyanyi asal Malaysia. Lagu yang sedang hit dan digandrungi anak muda.
Aku selesai duluan sementara Fatimah menambahkan keripik singkong pada kuah misonyo. Terlihat dia sangat menikmati sampai butir butir keringat bertabur di bawah matanya. Mungkin karena panas dan menahan pedas. Aku sangat bahagia melihat kelahapannya makan miso.
Ternyata Fatimah tidak lupa dengan pertanyaannya tadi, setelah selesai makan dia tetap menagih untuk mengatakan pada siapa aku jatuh cinta.
Aku meminta pena dan secarik kertas padanya kemudian menulis satu kata kemudian memasukannya ke dalam tas yang Fatimah bawa.
“Baca di rumah nanti,” kataku menatap wajahnya yang sumaringah.
“Ya nanti kubaca,” balas Fatimah.
Setelah membayar kami berjalan satu payung menuju rumah Fatimah diiringi gerimis yang masih tetap turun.
“Terima kasih atas traktiran, malam yang indah,” kata fatimah begitu kami sampai di rumahnya. Aku terus berjalan menuju rumahku kemudian melambaikan tangan padanya.
Fatimah duduk di bibir ranjang dalam kamar, dengan penenerangan lampu semporong tangannya memegang secarik kertas dariku. Perlahan bibirnya membaca “ KAMU “ . Ia baca berulang ulang. Tak lama kemudian baru disadarinya maksut dari tulisan itu. Renungnya semakin dalam, air mata kebahagian menetes dari kedua matanya. “Akhirnya kata yang aku tunggu selama ini datang juga,” ucapnya dalam hati. Fatimah berbaring dengan mendekap bantal berharap esok adalah hari hari bahagia, seperti harapan dan mimipinya selama ini.
Tamat