Hujan Deras yang Menghalangiku Untuk ...

Hujan semakin deras. Di antara suara rintik diselingi klakson saling sahut-sahutan, aku berdiri di kedinginan,terjebak di depan salah satu ruko di Jalan Pramuka. Sore itu aku harus menemui amara, kekasihku. Namun,sepertinya hujan tak mengizinkan aku melihat indah parasnya Amara. Lama aku menatap jalanan yang masih dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Sementara, aku masih diam di sini, kalau memaksakan jalan sudah pasti basah kuyup.



“Sar,kamu di mana?”

“Aku masih di jalan terjebak hujan.”

Lalu ia tak membalas pesan singkatku lagi. Ya, aku tau ia pasti kecewa denganku mengingat hari ini adalah hari ulang tahunnya, sekaligus hari jadi kami yang ke 2 tahun. Amara adalah perempuan yang mengingat semua momen. Memang terkesan berlebihan. Namun, bukankah hampir semua perempuan seperti Amara? Melakukan hal yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki. Meski kami tidak merayakannya dengan memberi sesuatu setiap bulan jadian, tapi Amara selalu mengngatkan ku kalau sudah jatuh tanggalnya. Dia melakukannya sampai satu tahun hubungan kami.

Katanya, merayakan hari jadi tiap bulan dalam satu tahun bertujuan untuk mengokohkan pondasi hubungan kami. Menurut Amara, tahun pertama adalah penentuan hubungan sepasang kekasih, dan, aku mampu melewatinya dengan Amara. Meski sering kali dia kesal karena aku selalu lupa tanggal jadian kami, tapi itu bukan masalah yang dibesar-besarkan.

Sejujurnya, aku memang tidak begitu suka mengingat hal seperti itu. Menurutku, mengingat tanggal jadian tidak akan membuat sebuah hubungan menjadi rekat. Karena cinta bukan untuk dihitung hari, melainkan untuk dijalani sepenuh hati. Sampai di tempat kita tidak lagi sanggyp melangkahkan kaki membawa hati.

Hujan pun mereda. Tetesnya kini tinggal rintik-rintik. Satu persatu angkot berwarna biru dan merah masih lalu Lalang di hadapanku. Aku mengulurkan tanganku ke udara,memastikan hujan sudah tidak lebat lagi. Setelah merasa yakin, aku pun berangkat menuju kampus dengan motorku. Di antara sisa gerimis itu, aku menaruh harapan agar bias bertemu dengan Amara. Aku sudah menyiapkan kado untuknya. Sebenarnya, kalua hujan tidak turun, aku dan Amara pasti sudah bertemu,memenuhi ruang kelas kami dengan tawa.

Aku berjalan ke lantai empat. Menaiki tangga yang cukup melelahkan. Rambutku agak basah terkena gerimis yang belum usai tadi. Aku mengelap dengan sapu tangan sebelum masuk ke kelas. Memastikan wajahku tidak kucel Rintiketika bertemu Amara.

“kok baru datang?” tanya shinta

“Amara mana?” Tanyaku tanpa merespon pertanyaan Shinta

“Udah balik.” Kevin menjawab malas. Dia sibuk dengan laptopnya.

“Kamu sih,pakai telat segala. Dia udah nunggu kamu daritadi” Reza menambahkan.

Kenapa aku disalahkan? aku kan tidak bermaksud untuk telat. Kalua mau menyalahkan, salahkan saja hujan. Hujanlah yang membuatku datang terlambat. Lagi pula, aku baru terlambat satujam. Itu bukan waktu yang lama untuk menunggu hujan deras seperti tadi.

“Kalian kenapa sih?” Aku bertanya heran,menatap tiga sahabatku itu.

“Sar,kamu engga sadar juga? Parah!” Putri mengalihkan wajahnya ke jendela.

“Tunggu. Aku belum mengerti maksud kalian.”

“Jelaskan, Rez!” Kevin meminta Reza menjelaskan kepadaku, lalu dia kembali sibuk dengan laptopnya sampai tidak tahu waktu. Rutinitas dengan layer laptop yang berlebihan itu, membuat matanya harus menggunakan kacamata.

“Hei,kalian nggak lihat hujan deras banget tadi?”

“Terus, cintamu dikalahkan hujan?” serang shinta kepadaku

“Shinta. Apa-apaan sih ini!”

Aku tidak mengerti dengan sahabatku hari ini. Terutama Shinta, apa maksudnya membandingkan Cintaku dengan hujan? Dasar perempuan aneh. Apa-apa dikaitkan. Drama!

Aku menatap mata Shinta. Mata yang biasanya tenang,kini menyimpan kesal yang tidak bias disembunyikan.

Aku tak paham apa yang mereka pikirkan.menurutku ini bukan masalah yang besar.

Malam itu,aku datang ke rumah Amara. Aku menelpon nya sebelum sampai di rumahnya. Seperti biasa, dia tidak mengizinkanku untuk bertamu di rumahnya. Awalnya ia tidak mau bertemu,mungkin masih kesal denganku. Namun akhirnya ia mau bertemu dengan ku dan meminta aku untuk menunggu.

Beberapa menit kemudian, Amara datang diantarkan adik lelakinya. Rambut Amara lurus dan pendek, terlihat berkilau diterpa sinar lampu taman. Meski tak sejenjang model-model, tubuh Amara bias di kategorikan ideal bak model di catwalk sana. Sayang, muka kesal di wajah amara seolah merebut segala keindahan itu.

“Kamu main aja dulu, tapi nanti aku jemput kakak ya setengah jam lagi.” Adiknya kemudian meninggalkanku dan Amara di Taman UTAKARA BERIMAN malam itu, di bangku taman yang dingin terkena huja sore tadi, aku merasa sikan Amara lebih dingin dari udara malam itu.

“Amara aku….” Aku membuka pembicaraan

“Udah. Lupain aja,” ucapnya dingin

“Tapi,aku nggak maksud seperti itu.”

“Sar…” Dia menatap mataku.”Hari ini dua tahun hubungan kita. Aku gamau kita berantem. Aku gamau kita berdebat.”

Aku memilih diam. Aku nerasa bersalah telah menunggu hujan reda. Harusnya,aku tembus saja hujan itu jika itu bias membuktikan rasa cintaku kepada Amara. Dan, dia tidak meragukanku seperti mala mini.

“Selama dua tahun ini,aku sering melakukan hal aneh di mata kamu. Merayakan hari jadi setiap bulan di tahun pertama misal. Tapi, aku melakukan itu untuk hubungan kita.”

“Ra…,aku nggak bermaksud membuatmu berfikir seperti itu.”

“Tapi, kamu nggak benar-benar ikhlas kan melakukan semua itu?”

Benar,aku memang tidak terlalu suka melakukan hal itu. Namun,bukan berarti aku tidak cinta Amara. Karena, bagiku cinta bukan dari takaran bulanan, tahunan, atau apapun Namanya. Aku mencintai dia dengan sepenuh hati. Aku mencintainya dengan caraku. Dengan tidak mencintai perempuan lain selain dia. Aku bahkan tidak berniat membuka hati untuk siapapun, kecuali Amara.

Malam itu, Amara meninggalkanku lebih cepat dan menelepon adik nya, hanya lima belas menit bersamaku kemudian ia meninggalkanku.


Postingan populer dari blog ini

Pacaran Dilihat Dari Kaca Mata Islam, Profesi dimasa depan, Keluargaku dimasa Depan

Penatian Sekorang Gadis Di Tepian Telaga

Seroja