Cerpen Kenangan Indah Bersama Orang Yang Pernah Singgah Dihatiku

BULAN DI ATAS KOTA

Purnama bersinar di atas kota. Jalanan masih sibuk penuh dengan kendaraan. Apalagi pedagang kaki lima terlihat ramai dikunjungi pembeli, sepanjang trotoar. Lampu-lampu penerang jalan bercahaya menghangatkan suasana cafe taman di tengah kota Bogor ini . Dari pentas kecil dalam cafe terdengar lembut lagu How I can tell Her  dari Lobo  yang memanjakan pengunjung dengan nuansa klasik romantis.

Aku duduk di bagian luar cafe persis seperti 20 tahun silam. Suasananya tidak terlalu jauh berubah. Posisi bangunan utama masih seperti dulu, tapi kursi dan bangku- bangku di bagian luar ini memang sudah berbeda tata letaknya tapi konsepnya masih sama bernuasa ruang terbuka dikelilingi taman.

Kemarin sahabat yang dulu pernah menjadi kekasih hati mengajak bertemu di kafe ini. Awalnya aku menolak tapi setelah diyakinkan olehnya kalau pertemuan ini hanya sedikit bernostalgia serta menjalin persahabatan saja. Akupun mengiyakan dan kini sedang menantinya.


Kunyalakan sebatang rokok menikmati hawa dingin yang mulai terasa.

“Aku senang kau menungguku,” terdengar suara wanita dari arah belakang.

Aku sedikit terkejut kemudian menoleh, terlihat sang wanita tersenyum seperti dulu. Tatapan matanya sendu tersirat kerinduan.

“Ternyata datang juga,” katanya lalu memberikan tangannya untuk berjabatan. Lembut jemarinya mengantarkan pikiranku pada kenangan masa silam.


Beberapa menit tak ada percakapan. Rasa gembira ternyata mengunci mulut kami.

“Maaf mengganggumu, kalau istrimu tahu mungkin dia akan marah.” Aku kebetulah singgah di kota ini, jadi kuputuskan untuk menemuimu. Karena besok pagi harus meneruskan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa katanya sambil duduk menyilangkan kaki yang dibalut rok panjang.

“Hmmm.... tidak apa-apa. Aku senang kita bertemu kembali, meskipun suasananya tidak seperti dulu. Biarlah masa lalu kita berlalu bersama waktu,” jawabku

Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Ada perasaan bersalah. Tapi aku meyakinkan diri kalau malam ini bukan untuk menyulam kembali benang masa lalu. Hanya pertemuan biasa, sekadar mengingat bahwa di antara kami pernah ada kenangan.

“Mau minum apa?” katanya seraya mengangkat jemari lentiknya memberi tanda kepada pelayan yang kebetulan mendekat.

Seorang pelayan kafe datang dan menyerahkan sederet daftar menu. Tetapi wanita itu langsung memesan teh panas jeruk nipis dan kentang goreng, “untuk bapak ini,”  katanya sambil melirik  mataku.

“Kalpucino dan donat, untuk ibu ini,”  kataku meneruskan ucapan wanita itu.

Pelayan dengan sigap mencatat dan mengulangi membaca pesanan kami kemudian pergi.

“Kau masih ingat saja menu kesukaanku Herman, kata wanita itu menatap

Kau juga, balasku juga menatap matanya.

Kami berdua tertawa kecil, memecah suasana 

Malam makin terasa dingin, sebagaimana biasa di penghujung tahun hujan turun hampir setiap hari. Beruntung malam ini cuaca cukup cerah, sehingga aku dapat memandang wajah wanita yang dulu pernah mengisi hariku. Wajah yang termakan usia tak dapat dihindarinya tapi dia tetap memiliki pesona yang sulit aku jelaskan.

“Kok melamun?” tanya wanita itu sambil meminum pesanan kami yang telah diantarkan pelayan

“Tidak, hanya teringat kenangan kita dulu.” Jawabku pelan.

“Masih suka menulis ?” tanyanya lagi

“Sesekali, kalau jenuh dengan rutinitas di kantor.”



“Puisi puisi yang pernah kau tulis untuku dulu masih kusimpan, mengingatkan pada tempat tempat yang pernah kita kunjungi, kebun raya, jembatan merah, puncak, serasa masih kemaren,” katanya dengan melamun.

Malam ini memori itu kembali hadir dengan jelas, setelah sangat lama tersimpan. Dia memandang langit yang dipenuhi awan berarak, sedikit menutupi cahaya bulan. Desiran angin dari  pohon-pohon di sekitar cafe mengharukan suasana.

“Maaf, aku nanti harus pulang sebelum tengah malam. Masih ada waktu satu setengah jam lagi buat kita,” kataku  sambil melirik arloji yang detaknya terasa cepat.

“Tidak apa-apa, bisa melihatmu saja aku sudah senang. Kalau istrimu tahu tentang pertemuan kita, sampaikan saja maafku, aku tidak hendak merebutmu darinya. Aku hanya ingin mengenang sesuatu yang pernah begitu membekas dalam hati. Bukankah kau pernah mengatakan , sesuatu yang indah belum tentu berakhir indah, hanya kenanganlah yang tetap indah selamanya,  begitu kan ?”

“Ya, jawabku lembut dengan tersenyum.

“Bagaimana kalau kita berjalan sekitar sini  seperti yang dulu kita lakukan? Sekalian mengantarku ke seberang sana tempat aku menginap,” katanya mengajak

“Oh ayok,” jawabku sambil segera berdiri

Malam begitu indah dalam sebuah pertemuan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kami berjalan perlahan menyusuri kawasan sekitar tempat ini, menikmati pemandangan kota yang dingin. Nyaris tak ada percakapan, hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku membiarkannya mengingat kembali kenangan pada malam-malam yang telah lama hilang.

“Kota ini masih seperti dulu, sepanjang jalan dipenuhi lampu-lampu.” katanya kemudian tanpa sengaja melingkarkan tangannya pada lenganku, namun buru buru ditariknya kembali.

Tak terasa kami sampai di trotoar kebun raya. Sebuah rumah berasitektur zaman Belada berdiri cantik di seberang sana. Halamannya  berumput hijau sungguh indah dipandang mata. 

“Kau dulu pernah mengajakku ke sini, bukan? dan mengatakan kalau kau menyukai rumah cantik itu,” katanya sambil menunjuk 

Dan di sini juga dulu kau mengucapkan kata-kata indah membuat hatiku luluh, Kita berjalan dengan jemari saling menggenggam. Hanya kau satu satunya laki laki yang mampu membuatku terbuai,” lanjutnya lagi sambil menerawang jauh.

Aku tak mampu menjawab, hanya memandang wajahnya, lagipula dia tak butuh jawabanku

Terlalu banyak kenangan yang harus kami  simpan selama puluhan tahun.

Dan wanita itu datang  membongkar kembali segala cerita yang pernah kami lukis dalam sketsa kehidupan. Mungkin akan menjadi kisah romantis bila dibebaskan dari luka yang menyertainya.

Ada aliran bening dari ujung matanya yang ditumbuhi bulu-bulu lentik.

“Aku tidak pernah bisa melupakan ini,” katanya sambil membetulkan syal di lehernya yang hampir jatuh.

Aku  membiarkannya terus bercerita. 

“Entah kapan  kita bisa bertemu lagi,” katanya lagi sambil mengusap air matanya yang semakin menderas.

“Semoga pertemuan ini tidak menambah goresan luka di dada kita. Biarlah kenangan itu seperti angin, seperti rumput kering atau daun yang jatuh dari pohon. Sementara kita hanya melihat dari jauh, tanpa bisa menghampiri atau menyentuhnya.” kataku mencoba memberi jawaban.

“Tapi tetap saja tidak bisa dilupakan, selama masih ada sesuatu yang mengingatkan,” kata wanita itu tanpa notasi.

Aku menggenggam jemari tangannya agar tidak semakin terbius kenangan. “Sudahlah,” kataku menenangkan.

Tanpa terasa kami telah sampai di taman hotel tempatnya menginap

“Mungkin sekarang kita harus kembali kepada kehidupan masing-masing, katanya menatap mataku.

“Terima kasih atas kehadiranmu, “ Aku masuk dulu, ya.” “ Selamat malam....” katanya langsung berbalik memperlihatkan punggungnya tanpa menoleh lagi .

Kini tinggalah aku sendiri terpana bersama bulan di atas kota yang sinarnya redup oleh kabut malam

Tamat

By : Tony Herman


Jakarta 17 September 2022


Postingan populer dari blog ini

Apa Itu Cinta, Dari Mana Itu Cinta, Dimulai Dari Cinta

Pacaran Dilihat Dari Kaca Mata Islam, Profesi dimasa depan, Keluargaku dimasa Depan

Seroja