Seroja

Seroja

Cerpen Tony Herman Abrar

Angin sore mulai terasa dingin, itu petanda tak lama lagi petang akan tiba. Kulihat jam yang meilngkar pada  pergelangan tangan kiri dengan perasaan campur aduk, gelisah dan kesal.

Para pekerja tambang pasir  tidak terlihat satupun, mungkin mereka sudah pulang. Di sini di bangku tepian sungai Sinamar aku duduk  menunggu tambatan hati. Kami sangat menyukai suasana di sini, ada jembatan penghubung antar nagari. Pada sisi kiri serta kanan sungai terdapat pelabuhan untuk menampung hasil tambang pasir dan batu.  


Tak jauh dari bibir jalan raya berdiri sebuah warung tempat para pekerja bercengkrama dan melepas lelah, tapi warung itu kini telah sepi karena hari sudah mendekati malam.

Kalau tidak mengingat bahwa pertemuan ini merupakan pertemuan kami yang mungkin terakhir, ingin rasanya aku pulang saja. Keinginan itu aku coba tahan dan tetap menunggu meski dengan penuh kesal. Minggu depan aku akan pergi merantau mencari penghidupan ke kota. Merantau sepertinya sudah menjadi tradisi bagi putra minang, baik untuk melanjutkan pendidikan ataupun mencari penghidupan.

alam lamunan panjang aku mendengar  derap langkah lembut mendekat. Kupalingkah wajah menuju sumber suara, ternyata Seroja gadis pujaan hati telah duduk di sampingku. Keringat membasahi wajah cantiknya, nafasnya masih sesak. Tentu tadi berlari ke sini pikirku dalam hati.

“Maaf, aku terlambat!“ katanya dengan susah payah mengucapkan kalimat itu. Seroja terus menyeka keringatnya yang tak henti bercucuran. Aku menoleh selintas terlihat dia sangat kelelahan, tapi hatiku terlalu kesal untuk mengucapkan kata simpati.

“ Ayo kita pulang saja,” kataku dengan nada sedingin es, kemudian  berdiri seolah mangajak.

Lewat sudut mata kulihat Seroja menatapku dengan sedih, dia berdiri mendekat.

Sudah berapa lama kau menungguku?  tanyanya.

“ Terlalu lama, sampai-sampai aku lupa seberapa lama persisnya,” jawabku asal dan acuh.

“ Maaf, banyak hal yang harus kuselesaikan di rumah tadi, Seroja menjawab pelan.

Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara hewan sore menyambut datangnya gulita malam.

Aku tenggelam dalam kekesalan sementara Seroja diam dalam penyesalannya.

"ku menyimpan rasa cinta yang dalam untukmu,” suara Seroja memecah kebisuan.

Aku hanya diam mulai berjalan meninggalkan bangku menuju parkir sepeda motor yang lumayan jauh. 

Seroja mengikuti kemudian menyentuh lembut tanganku memberi tanda untuk menatapnya.

“Aku akan menunggu sampai kapanpun, akan selalu merindukan kepulanganmu,” kata seroja menatap mataku dengan dalam.

Sepintas kulihat mata seroja berkaca kaca memberi tanda ketulusan. Tangannya mulai ia longgarkan memegang tanganku. 

Hatiku tersentuh tapi ego terasa lebih nyata. Rasa pedih dan  merasa diabaikan menyerang. Aku kembali teringat bagaimana sepinya tadi saat menunggu begitu lama. 

Kami tiba di area parkiran motor. 

“Sekarang pulanglah,” aku tak bisa mengantarmu karena banyak urusan yang harus kuselesaikan,” kataku sambil menyalakan motor. Kulihat wajah Seroja masih sedih menuju motornya. Suara motornya masih sempat kudengar menyala  dan aku terus pergi tanpa menoleh lagi.

Dua hari berlalu, Aku mendapat kabar dari teman yang menyatakan Seroja kecelakaan dan kini berada di Rumah Sakit Ibnu Sina kota Payakumbuh. Aku diam terpaku merasa tidak percaya, sementara temanku di ujung telepon menangis tersedu sedu tak mampu melanjutkan berita duka.

Kulihat Seroja terbaring tak berdaya. Selang dan kabel-kabel entah apa saling menyilang, seolah memperumit keadaan. Monitor di sampingnya mengeluarkan bunyi pelan sembari menampilkan gambaran serupa bukit bergerigi. Perawat mengizinkanku untuk masuk dan duduk di tepi ranjangnya. Kugenggam erat jemarinya dan membawanya ke wajahku.

Kembali terbayang kami bertemu dua hari yang lalu, keringat bercucuran di wajahnya demi mengejar waktu,  dan mata berkaca kaca ketika seroja memegang tanganku untuk menatapnya.Tak terasa butiran butiran air mata  menetes di mataku,menderu tak berhenti seperti keringat Seroja kemaren. Betapa rasa bersalah itu menyelimuti kalbu. 

“Kini aku yang akan menunggumu Seroja.,” kata batinku.

Seroja tetap saja terbaring tak berdaya,, jemarinya semakin dingin kurasa, dingin.. dingin… dan monitor di sampingnya berbunyi bersama datarnya garis petanda berakhir sudah segalanya…

Postingan populer dari blog ini

Apa Itu Cinta, Dari Mana Itu Cinta, Dimulai Dari Cinta

Pacaran Dilihat Dari Kaca Mata Islam, Profesi dimasa depan, Keluargaku dimasa Depan