Mengukir Kembali Kenangan Di Awal Tahun
RINTIK- RINTIK RINDU
By : Tony Herman
Awal tahun yang dipermainkan oleh cuaca. Hujan memaksaku berteduh di warung minum pinggir jalan. Baruah Gontiang, begitu orang orang menyebut kawasan ini. Mungkin maksutnya adalah suatu dataran rendah yang genting ibarat tali hampir putus. Baruah Gontiang dipenuhi bentangan sawah, kolam-kolam ikan serta dibelah oleh sungai kecil berair jernih. Deretan bukit yang tak putus-putus memagarinya, betapa indah pemandangan alam lukisan yang maha kuasa.
Pasangan muda pemilik warung tersenyum menyambut kedatanganku.
“Hujan, berteduh dulu Pak,” kata sang suami.
“Iya,” terima kasih jawabku sambil memarkir sepeda motor.
“Mau saya buatkan kopi, teh”? tanyanya lagi.
“Teh saja, aku menjawab kemudian memilih tempat duduk yang leluasa untuk memandang alam sekitar.
Di celah tetesan hujan masih terlihat hulu sungai mengalir meliuk- liuk hingga sampai ke lorong jembatan Gontiang penghubung jalan raya Padang Mungka. Mataku terhenti pada sebuah dangau tua beratap seng karatan.
“ Hmm, dangau itu,” gumamku sendiri.
“ Kenapa dengan dangaunya Pak? kata isteri pemilik warung yang sedang menyodorkan teh panasnya.
“ Terimak kasih, ucapku menyambut.
“Dangau itu pernah aku singgahi 30 tahun yang silam, ketika masih SMA,” kataku menjelaskan.
“Hah,terkenang masa lalu ya Pak? tanyanya lagi.
Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu, kemudian sedikit merobah posisi duduk.
Teh panas terasa nikmat di kerogngkongan dalam cuaca dingin seperti ini.
Mataku kembali mengamati dangau tua, teringat ketika aku dan kekasih hati berteduh. Sama persis seperti saat ini hujan turun di sore hari. Ketika pulang sekolah melintasi baruah Gotiang dengan bersepeda tiba-tiba hujan deras turun, kami berlari kecil mencapai dangau tua itu. Aku mencoba membersihkan lantainya yang terbuat dari bilah mambu dan melapangkan tempat untuk Senja duduki.
Kusandarkan punggung ke dinding dangau sambil memandang sekeliling. Terlihat samar tepian tebing dalam keremangan kabut hujan. Senja duduk terdiam dengan memeluk lututnya.
“Kenapa, dingin?” tanyanku.
Senja hanya menganguk pelan, aku mengambil switer dari dalam tas ransel, kemudian memberikan padanya.
“Pakailah,” kataku.
Senja mengenakan switer kemudian merapikan kembali untaian rambutnya yang panjang.
Suasana kembali sunyi, hanya terdengar rintik hujan yang berjatuhan di atap dangau. Senja menatap mataku yang kebetulan memandangnya.
“Apakah persahabatan kita akan abadi?” tanyanya lembut.
“Aku akan merawat harapan itu,” kataku sambil memandang jauh.
Senja terdiam, menatap mataku lama seakan mencari kebenaran di sana.
“Aku akan menunggu,” katanya menunduk.
Dalam keheningan mata kami bertemu, Senja memberikan seulas senyum yang teramat berarti.
Tiba tiba kilatan cahaya membelah langit, diiringan dentuman halilintar mengelegar. Lamunanku buyar dengan membawa senyum di bibir.
Isteri pemilik warung ternyata memperhatikan lamunanku dari tadi.
Kenapa senyum sendiri Pak? tanyanya bergurau
Kamipun tertawa bersama menikmati sore bersahaja yang mengantarkanku pada kenangan.
Aku dan senja telah meluruhkan hati pada hujan, namun musim tidak merestui pertemuan. Kami mengalir pada dua sungai yang saling menjauh. Dan pada Baruah Gontiang hatiku digenangi rindu.