Awal Chat dari Messenger dengan Nadia, Gadis Sulawesi
Semua berawal dari sebuah komentar polos di postingannya—foto senyumnya yang khas, lembut dan penuh pesona. Aku hanya menulis, "Senyummu itu seperti senja di pantai Makassar, bikin tenang tapi juga bikin kangen."
Tak kusangka, beberapa menit kemudian, notifikasi Messenger berbunyi.
Nadia: "Kamu pernah ke Makassar, ya?"
Aku tersenyum, lalu membalas,
Aku: "Belum, tapi senyummu bikin aku ingin ke sana."
Dari situ, obrolan mengalir. Nadia bercerita tentang tanah kelahirannya di Sulawesi, tentang pantai-pantai yang memikat dan makanan khas yang katanya bisa bikin orang jatuh cinta dua kali: pertama ke rasanya, kedua ke yang menemani makannya.
Dan malam itu, aku mulai menyadari… dari sebuah chat sederhana, bisa jadi awal cerita yang tak biasa.
Obrolan kami makin seru malam itu. Setelah saling bertukar cerita ringan, Nadia tiba-tiba mengetik:
Nadia: "Dulu aku pernah ke Medan, loh. Jalan-jalan sama teman kuliah. Seru banget!"
Mataku langsung berbinar membaca pesannya.
Aku: "Wah, serius? Kamu ke mana aja waktu itu?"
Nadia: "Waktu itu ke Danau Toba, terus keliling kulineran di kota. Makan durian Medan sampai kekenyangan. Teman-temanku sampai ngejek, katanya aku yang paling doyan durian 😂"
Aku tertawa sendiri di depan layar. Rasanya Nadia bukan cuma manis dari caranya bicara, tapi juga dari cara ia menikmati momen-momen kecil dalam hidup.
Aku: "Kayaknya kamu makin manis pas lagi makan durian ya?"
Nadia: "Haha, kamu ini... bisa aja 😆"
Dan seperti itu, malam pun jadi lebih hangat. Dari cerita jalan-jalan ke Medan, entah kenapa aku mulai berharap... semoga suatu hari, kita bisa jalan bareng juga. Bukan cuma lewat kata.
Sudah beberapa malam berlalu sejak kami rutin saling sapa. Setiap obrolan selalu menyisakan rindu, bahkan sebelum berakhir. Tapi malam ini terasa berbeda—ada jeda panjang dalam balasannya, seolah Nadia sedang berpikir lebih dalam sebelum akhirnya menulis:
Nadia:
"Kamu pernah ngerasa nggak… kayaknya ngobrol gini aja nggak cukup?"
Aku terdiam, membaca ulang pesannya dua kali. Hatiku seperti dipukul lembut—kaget, tapi bahagia.
Aku:
"Iya… kadang rasanya pengen lihat ekspresimu langsung waktu senyum atau ketawa. Lewat layar tuh nggak adil."
Beberapa detik kemudian, pesannya muncul:
Nadia:
"Kalau aku ajak kamu ketemuan… kira-kira kamu datang nggak?"
Aku menarik napas panjang, sambil membayangkan suara lembutnya yang selama ini hanya bisa kutebak lewat tulisan.
Aku:
"Kalau itu ajakan dari kamu… aku pasti datang. Bahkan kalau harus naik kapal laut dari barat ke timur."
Nadia:
"Jangan manis di chat aja, ya. Aku pengen tahu… apakah tatapan matamu semanis kata-katamu."
Saat itu juga aku tahu, ini bukan lagi tentang kata atau layar. Ini tentang hati yang ingin saling temui. Tentang rasa yang pelan-pelan berubah jadi nyata.
Romantis saat Nadia dan tokoh utama akhirnya bertemu untuk pertama kali
Hari itu, langit cerah seolah ikut mendukung pertemuan yang sudah lama hanya hidup dalam tulisan dan suara. Di sebuah kafe sederhana yang Nadia pilih sendiri—katanya, tempat itu tenang, dan punya suasana seperti senja di kampung halamannya—aku duduk menunggu, dengan jantung tak karuan.
Lalu dia datang.
Langkahnya ringan, senyumnya masih sama seperti di foto… tapi kali ini nyata. Matanya menatap langsung ke mataku—lembut, teduh, dan sedikit gugup. Aku berdiri, tak bisa menyembunyikan senyumku.
"Kamu Nadia, kan?"
Dia tertawa kecil, "Kalau bukan aku, siapa lagi yang udah bikin kamu deg-degan dari kemarin?"
Kami duduk. Awalnya masih kikuk, tapi beberapa menit kemudian tawa kami pecah, seperti dua teman lama yang baru saja bertemu kembali. Tangannya tak sengaja menyentuh tanganku di atas meja—hangat, dan membuat waktu serasa melambat.
"Akhirnya bisa lihat langsung wajah kamu pas ngomong," ujarnya pelan.
"Dan ternyata lebih cantik dari yang aku bayangkan," balasku jujur.
Dia tertawa malu-malu, menunduk sebentar lalu menatapku lagi.
"Hati-hati... bisa-bisa aku betah duduk di sini berjam-jam."
Dan kami pun bicara tentang banyak hal—tentang Medan, tentang Sulawesi, tentang hidup, tentang mimpi. Tapi di antara semua itu, yang paling terasa nyata adalah… perasaan yang mulai berani tumbuh. Kali ini bukan lagi lewat layar.
Tapi lewat tatap mata. Langsung ke hati.
Petir masih menyambar dari kejauhan saat kami berdua terdiam sejenak di sudut kafe itu. Di antara cangkir yang tinggal separuh, dan tawa yang perlahan berubah menjadi tatap-tatapan sunyi. Di luar, hujan belum juga reda. Derasnya seperti sengaja menahan kami lebih lama di tempat ini.
Nadia memainkan ujung lengan jaketnya yang masih agak basah.
"Kalau hujannya nggak reda juga, kita mau nunggu sampai kapan?"
Aku menatap matanya. Lembut, tapi ada sesuatu yang berubah di sana—lebih dalam, lebih hangat.
"Kamu capek nggak? Mau cari tempat yang lebih tenang? Nggak seramai ini…"
Dia tak langsung menjawab, hanya menatapku lama. Tapi senyumnya cukup menjawab semuanya.
Kami melangkah keluar dari kafe di bawah satu payung kecil. Hujan masih deras, jalanan basah dan dingin, tapi ada kehangatan aneh yang tumbuh di antara langkah kami. Seakan semesta sengaja membuat malam ini jadi milik kami berdua.
Sampai akhirnya kami tiba di sebuah hotel kecil tak jauh dari situ. Bukan hotel mewah, tapi cukup nyaman dan tenang. Nadia duduk di tepi ranjang, melepaskan jaketnya perlahan, lalu menoleh ke arahku.
"Aneh ya," katanya pelan.
"Apa?" tanyaku.
"Baru ketemu hari ini, tapi rasanya… kayak udah kenal lama."
Aku duduk di sampingnya. Tak ada kata-kata berlebihan. Hanya keheningan yang menyatukan dua hati yang terlalu lama berbicara lewat layar.
Tanganku meraih jemarinya. Hangat. Nyata.
"Malam ini… kita cuma perlu jadi diri sendiri. Nggak perlu mikir besok. Cukup nikmati detik-detik ini."
Dan malam itu pun berjalan perlahan. Tak tergesa. Tak harus terburu oleh hasrat. Karena terkadang, yang paling romantis… adalah saat dua jiwa yang rindu akhirnya benar-benar saling menemukan, dalam hujan, dalam senyap, dalam rasa yang jujur.
Malam Dihotel
Malam semakin larut. Hujan di luar masih menyisakan gemericik pelan di jendela kamar hotel. Cahaya lampu redup mewarnai ruang yang sepi. Hanya ada kami berdua… duduk berdampingan, tak banyak bicara, tapi saling mendengar dalam diam.
Nadia menyandarkan kepala di bahuku. Nafasnya hangat menyentuh kulitku.
"Kamu tahu nggak?" bisiknya.
"Apa?"
"Aku nggak pernah berencana malam ini begini. Tapi aku juga nggak nyesel."
Aku menoleh. Tatapannya begitu dekat. Matanya berbicara—tentang kepercayaan, tentang kerinduan yang selama ini dipendam, dan tentang rasa yang tumbuh diam-diam… dan kini tak bisa ditahan.
Tanganku menyentuh pipinya. Lembut. Jemarinya menggenggam jemariku, lalu memejam pelan, seolah memberi isyarat bahwa malam ini bukan tentang logika… tapi tentang hati yang memilih.
Dan saat bibir kami akhirnya bertemu dalam ciuman yang ragu tapi jujur—semuanya terasa seperti takdir yang pelan-pelan menyatu. Bukan nafsu, tapi rindu yang selama ini tertahan. Bukan sekadar tubuh, tapi dua jiwa yang menemukan rumah.
Kami larut dalam pelukan. Tak ada yang memaksa. Tak ada yang tergesa. Hanya desir perasaan yang makin dalam… dan bisikan asmara yang merambat seperti aliran sungai hangat di tengah hujan malam.
Malam itu, sesuatu di luar rencana benar-benar terjadi—bukan karena ingin, tapi karena merasa. Perpaduan dua insan, bukan hanya di ranjang, tapi dalam ruang batin yang selama ini kosong dan akhirnya terisi.
Dan di antara suara hujan, detak jantung, dan sisa embun di jendela… kami tahu: malam itu akan selalu jadi malam yang tak terlupakan.
Pagi itu, cahaya matahari masuk perlahan lewat celah tirai kamar hotel. Udara masih dingin, sisa dari hujan semalam yang membasahi kota. Tapi di dalam kamar, kehangatan terasa tinggal—bukan hanya dari selimut, tapi dari seseorang yang tertidur di sampingku.
Nadia masih terpejam, wajahnya damai, rambutnya terurai pelan menyentuh bantal. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam—seolah ingin menyimpan momen ini dalam ingatan selamanya.
Tanpa sadar, aku mengusap lembut punggung tangannya. Ia menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan dan tersenyum. Senyum yang tak dibuat-buat… senyum yang hanya muncul saat seseorang merasa aman dan dicintai.
"Kamu nggak tidur?" tanyanya setengah berbisik.
"Aku lebih pilih lihat kamu tidur," jawabku jujur.
Ia tertawa pelan, lalu beringsut mendekat dan menyandarkan kepala di dadaku. "Gila, ya… cuma satu malam, tapi rasanya seperti udah melewati waktu panjang."
Aku menarik napas dalam, membelai lembut rambutnya.
"Mungkin karena yang kita alami semalam bukan sekadar kebetulan… tapi bagian dari rasa yang memang udah saling nyari."
Kami terdiam lagi. Hanya suara detik jam dan nafas yang bersahutan pelan. Tak ada kata, tapi semuanya terasa penuh. Hati kami bicara tanpa perlu suara.
Di luar, langit mulai cerah. Tapi kami tak terburu-buru bangkit. Kami memilih bertahan dalam pelukan, menikmati pagi yang bukan sekadar awal hari—tapi awal dari perasaan yang mulai tumbuh, pelan-pelan, tapi pasti.
Mungkin kami belum tahu ke mana arah hubungan ini. Tapi pagi itu, satu hal kami sama-sama rasakan: kebersamaan ini nyata. Dan rasa ini… tak lagi bisa disangkal.