Cinta Yang Berawal Dari Chat Messager Facebook

Awalnya dari Dina


Siang itu, saat aku sedang santai scroll Facebook, muncul notifikasi:
“Dina mengirim permintaan pertemanan.”

Aku klik profilnya. Wanita manis berhijab, senyumnya lembut, ada aura keibuan sekaligus pesona yang sulit dijelaskan. Di bio-nya tertulis singkat: Pemilik Toko Elektronik - Ibu satu anak.
Aku tak mengenalnya, tapi entah kenapa, aku langsung klik “Konfirmasi.”

Beberapa menit kemudian, chat Messenger masuk:
“Makasih udah diterima ya, Mas. Maaf tiba-tiba add… saya sering lihat Mas aktif di grup jual beli, jadi kepikiran nyapa aja.”

Aku balas,
“Nggak apa-apa, Bu Dina. Salam kenal. Toko elektroniknya di mana, kalau boleh tahu?”

Obrolan itu ringan, tapi hangat. Dina menjawab dengan ramah, kadang diselingi emoticon senyum. Obrolan kami berkembang cepat—dari barang-barang elektronik, ke cerita tentang dirinya yang sudah menjanda tiga tahun, dan bagaimana ia membesarkan anak semata wayangnya sambil mengurus toko.

Beberapa hari kemudian, dia menulis:
“Mas... kalau nggak keberatan, ngobrolnya lanjut ke WA aja ya. Kadang Messenger suka delay.”

Aku kasih nomor, dan tak lama masuk pesan:
“Hai Mas, ini Dina dari FB :)”

Sejak saat itu, chat kami tak pernah benar-benar berhenti. Dari ucapan selamat pagi, kiriman foto suasana toko, cerita-cerita lucu harian, sampai akhirnya... percakapan yang lebih personal. Tentang rasa sepi. Tentang rindu tanpa nama.
Aku tak tahu kapan tepatnya perasaan itu tumbuh. Tapi satu hal pasti: sejak Dina hadir lewat satu permintaan pertemanan... hidupku jadi terasa lebih hangat.

Jujur di Antara Rasa


Obrolan kami makin hangat. Setiap pagi, Dina tak pernah lupa kirim pesan:
“Selamat pagi Mas… semoga harinya manis kayak kopi tanpa gula ☕🙂”

Aku pun selalu menjawab. Kadang aku sendiri heran, bagaimana seseorang yang tak pernah kutatap langsung bisa begitu lekat di hati.

Sampai suatu malam, setelah obrolan panjang soal hidup dan kesepian, aku menghela napas dan mulai mengetik.

“Dina…”
“Aku harus jujur…”

Dia hanya balas:
“Iya Mas? Ada apa?”

Aku menahan jemari beberapa detik, lalu lanjut:
“Aku sebenarnya sudah menikah. Bahkan… aku sudah punya cucu.”

Hening. Centang dua biru. Tapi tak kunjung dibalas. Jantungku berdetak cepat. Ingin kutarik kembali pesan itu, tapi rasanya lebih baik terlambat jujur… daripada pura-pura terus.

Beberapa menit kemudian, balasan itu datang:

“Terima kasih udah jujur, Mas… Jujur itu lebih berat daripada menyembunyikan. Tapi aku nggak marah. Aku malah… lega.”

Aku menatap layar lama, lalu menulis lagi:
“Maaf kalau selama ini bikin kamu nyaman… padahal aku sudah terikat.”

Dina menjawab dengan kalimat yang membuat hatiku remuk sekaligus hangat:
“Aku tahu dari awal, Mas beda. Aku cuma senang ada yang benar-benar ngobrol dan peduli. Aku nggak nuntut apa-apa. Kadang… rasa itu nggak harus punya ujung. Cukup hadir, dan saling ngerti.”

Malam itu, kami sama-sama diam. Tapi di antara diam itu, ada satu hal yang tak bisa dibohongi: kami saling menyayangi, meski tahu tak bisa memiliki.

Jika Tuhan Menghendaki

Setelah jujur bahwa aku sudah beristri dan punya cucu, aku pikir semua akan berubah. Tapi nyatanya, Dina masih hadir seperti biasa. Chat-nya tetap hangat, tetap ringan, tetap dengan emoji senyuman yang kurindukan.

Sampai suatu malam, aku kembali memberanikan diri menulis:

“Dina… ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.”

“Apa lagi, Mas?”

“Usia kita beda jauh. Aku bukan lelaki muda. Aku bukan pria yang pantas buat perempuan secerah kamu. Aku sudah di ujung kepala lima…”

Dina lama tak membalas. Tapi ketika notifikasi masuk, aku terdiam membaca kata-katanya:

“Mas, cinta itu bukan angka.”
“Kalau hati bisa saling mengerti, kenapa harus takut selisih usia?”
“Dan kalau Tuhan menghendaki… siapa yang bisa menolak?”

Aku diam. Mataku hangat.

Dia lanjut:

“Aku nggak pernah pilih-pilih dari sisi umur. Aku cuma tahu, sejak ngobrol sama Mas… rasanya ada tempat buat bersandar. Buat cerita. Buat merasa dihargai sebagai perempuan.”

Lalu, dia kirim satu pesan terakhir malam itu:
“Aku tahu kamu bukan milikku sepenuhnya. Tapi hatiku nggak bisa bohong… Aku senang kamu hadir, walau hanya sebentar di hidupku.”

Dan malam itu, meski hanya di balik layar, aku merasa… dipahami. Dicintai. Bukan sebagai lelaki sempurna, tapi sebagai jiwa yang pernah kesepian yang akhirnya menemukan seseorang yang mau tinggal… walau tak bisa menetap.

Di Langkat, di Kebun Durian


Suatu malam, di antara obrolan santai seputar cuaca dan pekerjaan, Dina menulis:

“Mas… kalau kapan-kapan ke Sumatera Utara, mampir ya ke Langkat. Toko ku masih seperti biasa. Tapi sekarang aku lagi seneng di kebun durian. Udah mulai musim…”
Aku senyum membaca pesannya. Langkat terasa jauh dari tempatku. Tapi rindu… ternyata lebih jauh menembus ruang.

“Aku serius lho,” tulisnya lagi.
“Biar kita bisa ngobrol nggak cuma pakai huruf dan emoji.”

Beberapa hari kemudian, tanpa banyak kata, aku duduk di dalam mobil sewaan, menuju Langkat. Rasa gugup dan antusias berbaur jadi satu. Bagaimana kalau canggung? Bagaimana kalau dia kecewa melihatku yang nyata—seorang lelaki beristri, berumur, dengan masa lalu yang tak kosong?

Tapi ketika aku tiba di tokonya, semua keraguan itu perlahan larut. Dina menyambutku dengan senyum yang sama seperti di foto-fotonya. Tapi kali ini… lebih hangat. Lebih nyata.

“Udah jauh-jauh ke Medan, masa cuma lihat etalase rice cooker,” katanya sambil tertawa ringan. “Ayo, Mas… ikut aku ke kebun.”

Kami naik motor tua miliknya, melewati jalan kecil dan sawit-sawit yang memayungi. Sampai akhirnya tiba di kebun durian. Suasananya sunyi, hanya ada suara angin, daun, dan detak yang entah dari jantung siapa.

“Kalau lagi musim, tempat ini ramai. Tapi aku lebih suka pas sepi begini…” katanya pelan.

Aku hanya menatapnya. Angin meniup anak rambut di pelipisnya. Matanya tak menatap langsung, tapi aku tahu… dia sedang menyimpan harap yang tak diucapkan.

“Dina…” ucapku.
“Ya?”
“Kenapa ngajak aku sejauh ini?”
Dia menoleh, senyumnya tipis tapi dalam.
“Karena nggak semua pertemuan harus punya akhir. Kadang… cukup ketemu. Biar hati tahu, bahwa rasa itu nyata. Dan Tuhan pun pasti tahu... kalau rindu tak harus memiliki.”

Kami duduk di bawah pohon durian yang sedang berbunga. Tak ada yang jatuh malam itu—kecuali hati yang pelan-pelan mulai menyerah pada rasa.

Dengan senang hati. Berikut lanjutan narasinya: suasana senja di kebun durian milik Dina, setelah mereka berbagi percakapan hati… momen yang tenang, hangat, tapi penuh getaran diam-diam yang sulit dijelaskan.

Senja di Kebun Itu


Langit mulai jingga, dan matahari pelan-pelan tenggelam di balik bukit kecil di kejauhan. Udara mulai sejuk, dan bayangan pepohonan durian membentuk garis panjang di atas tanah yang lembab.

Aku dan Dina masih duduk bersebelahan di atas tikar plastik tipis yang dia bawa dari toko. Di atasnya ada dua gelas plastik kopi sachet dan sebungkus roti. Sederhana. Tapi rasanya seperti piknik paling tenang yang pernah kurasakan.

Tak banyak kata yang keluar. Hanya bunyi alam: dedaunan bergoyang, serangga bernyanyi, dan sesekali suara durian jatuh entah dari kebun sebelah atau hanya gemuruh perasaan yang mulai jatuh juga… di antara kami.

Dina menyandarkan punggungnya ke batang pohon, lalu berkata lirih,
“Dulu aku sering ke sini sendirian, Mas. Duduk diam sampai malam, dengerin suara hutan. Tapi malam ini beda… ada teman bicara.”

Aku menatapnya dalam. Wajahnya temaram, sebagian diterpa cahaya matahari yang menurun pelan, sebagian lagi sembunyi dalam bayangan ranting. Tapi tatapannya jujur, tak dibuat-buat.

“Aku nggak tahu harus bilang apa, Dina… Tapi kebersamaan ini… terlalu indah untuk dibiarkan biasa.”

Dia menunduk, tangannya meremas ujung rok. Lalu pelan-pelan ia berkata:

“Aku juga takut… nyaman sama seseorang yang bukan milikku. Tapi rasa ini datang sendiri. Aku nggak bisa menolak, Mas.”

Aku tak menjawab. Hanya menggenggam jemarinya perlahan. Tak ada niat untuk merusak, hanya ingin memastikan… bahwa saat itu, di bawah langit senja Langkat, ada dua jiwa yang saling temukan tempat pulang—walau hanya sebentar.

Dan senja pun menutup hari itu dengan warna yang ganjil: bukan merah, bukan jingga. Tapi semacam warna hati… yang baru saja disentuh untuk pertama kalinya, setelah lama terlupa cara merasakan.

Malam yang Tak Direncanakan


Setelah senja pamit dari kebun durian, Dina mengajakku menginap di salah satu penginapan kecil di pinggir kota. Tak mewah, tapi bersih dan tenang. Hanya ada suara kipas angin tua yang berputar malas, dan aroma sabun hotel yang menguar samar.

"Aku nggak mau kamu nyetir malam-malam pulang jauh ke kota," katanya sambil menyerahkan kunci kamar. "Istirahatlah, Mas…"

Awalnya aku pikir dia akan langsung pulang. Tapi setelah maghrib, suara pintu diketuk pelan.
Saat kubuka, dia berdiri di sana… masih dengan baju kebunnya yang sederhana, tapi matanya tak bisa menyembunyikan sesuatu yang dalam.

"Aku bawa teh manis," katanya.
Aku mengangguk, mempersilakannya masuk. Tak ada obrolan panjang. Kami hanya duduk di tepi ranjang, dua cangkir teh di antara kami.

"Aku nggak biasa begini, Mas," bisiknya pelan, tanpa menatap.
"Aku juga tidak," jawabku, jujur.
"Tapi malam ini… rasanya seperti ada ruang yang sudah terlalu lama kosong. Dan tiba-tiba, kamu datang."
Aku tak banyak bicara. Hanya menyentuh punggung tangannya yang dingin. Jemarinya bergerak pelan menyentuh balik. Saat mata kami akhirnya saling bertemu, tak ada lagi yang perlu dijelaskan.

Ciuman itu terjadi tanpa aba-aba. Lembut. Ragu. Tapi makin lama, makin dalam. Seperti dua orang dewasa yang lama menahan, dan malam itu… akhirnya membiarkan diri merasa.

Di bawah lampu kamar yang remang, kami menyatu. Tanpa janji, tanpa masa depan. Hanya ada napas tertahan, debar yang memburu, dan dua hati yang akhirnya menemukan kehangatan setelah sekian lama beku dalam kesepian.

Malam itu bukan milik siapa-siapa. Tapi menjadi milik kami berdua.
Dan meski pagi akan memisahkan… malam itu akan tinggal lama dalam dada.

Tubuh yang ku idamkan Diam-Diam


Malam itu belum usai. Setelah ciuman pertama yang membakar dinginnya udara kamar, kami saling diam… tapi tubuh kami bicara dengan cara lain.

Dina berbaring perlahan di atas ranjang. Matanya setengah redup, tapi mengundang. Aku mendekat, tanpa tergesa, membiarkan waktu mengalir di antara jeda napas kami.

Di balik kesederhanaannya, tubuhnya menyimpan keindahan yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. Ia tak muda, tapi ia jauh dari biasa. Kulitnya hangat, harum sabun yang menempel dari sore tadi masih tersisa samar. Tubuhnya langsing… seperti pernah terjaga, dan kini menyerahkan diri sepenuhnya dalam pelukanku.

Saat jemariku menyusuri lekuk pinggangnya, ia menggigil pelan—bukan karena dingin, tapi karena getaran yang kami ciptakan bersama. Dan ketika wajahku perlahan turun mencumbu bahunya… ia menghela napas panjang, menenggelamkan jarinya di rambutku.

Tak ada yang kami buru malam itu. Semua kami rayakan dalam diam, dalam desahan pelan, dalam kecupan yang menyelami waktu.

Dan buah dadanya—yang masih kencang dan menyembul indah di balik kain tipis—membuatku kehilangan arah. Aku tak menyentuh dengan nafsu, tapi dengan hormat. Karena malam itu, aku bukan sekadar pria yang datang singgah… aku adalah seorang pengembara yang akhirnya menemukan rumah, di tubuh dan hati seorang janda yang terlalu lama sendiri.

Malam yang Tak Ingin Cepat Berlalu


Malam itu, waktu terasa melambat. Lampu redup di kamar penginapan seolah mengerti: ada dua jiwa dewasa yang sedang saling menjelajahi, bukan sekadar tubuh—tapi luka, rindu, dan hasrat yang tertahan terlalu lama.

Dina berbaring di antara kelopak seprai yang halus. Gaun tidurnya tipis, nyaris transparan dalam cahaya kuning temaram. Tubuhnya langsing seperti doa yang dikabulkan diam-diam. Kulitnya wangi, lembut, dan mengundang. Setiap geraknya seperti alunan musik sunyi yang hanya bisa kudengar lewat dada.

Saat tanganku menyentuh lekuk pinggangnya, ia mendesah pelan. Matanya setengah terpejam, bibirnya sedikit terbuka—antara ragu dan pasrah. Aku menyusuri kulitnya perlahan, seperti membaca halaman-halaman rahasia yang tak pernah kubayangkan akan kubuka.

Dan ketika jemariku menyentuh puncak dadanya yang ranum dan masih tegang, ia memelukku erat, seolah takut malam ini hanyalah mimpi yang sebentar lagi lenyap.

"Dina…" bisikku di dekat telinganya,
Ia menjawab hanya dengan satu sentuhan, satu tarikan napas, satu tatapan yang dalam dan terbakar.

Tubuh kami melebur dalam irama yang tidak perlu dipelajari. Seperti dua api yang akhirnya bertemu dan saling membakar dalam diam. Tidak terburu-buru, tapi juga tak ingin berhenti.

Setiap kecupan adalah pengakuan.
Setiap desahan adalah permintaan.
Dan setiap pelukan malam itu… adalah bukti bahwa rindu bisa jadi nyata, bahkan bagi dua orang yang tak lagi muda, tapi tak pernah kehabisan cara untuk merasa hidup.

Kami tak tidur cepat malam itu. Karena malam seperti ini… terlalu sayang untuk dilewati hanya dengan memejamkan mata.

Pagi yang Tak Ingin Diakhiri


Cahaya pagi merayap masuk dari celah gorden yang lupa ditutup rapat. Kamar masih sunyi, kecuali suara kipas tua dan detak jam dinding yang pelan.

Aku terbangun lebih dulu. Dina masih terlelap di sebelahku, wajahnya tenang, napasnya teratur. Selimut melorot sampai ke pinggang, menyisakan pundaknya yang telanjang dan kulit yang memeluk aroma malam tadi. Rambutnya kusut, tapi justru di situlah letak pesonanya—alamiah, tanpa dibuat-buat.

Sesaat aku hanya memandangi dia. Perempuan yang semalam menyerahkan seluruh dirinya tanpa syarat. Bukan sekadar tubuhnya, tapi juga seluruh rasa yang selama ini ia simpan rapi di balik senyum dan status jandanya.

Tanganku menyusuri punggungnya pelan, membuatnya menggeliat kecil lalu membuka mata dengan malas.

“Udah pagi?” bisiknya serak, manja.

“Udah… tapi biarlah dunia nunggu sebentar. Aku masih ingin di sini… bersamamu.”

Ia tersenyum kecil, lalu memelukku. Helaan napasnya menyentuh dadaku.

“Semalam… nyata, kan?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Lebih nyata dari yang pernah kubayangkan.”

Kami kembali diam. Tapi kali ini diam yang hangat. Tak terburu-buru untuk pergi, tak ingin cepat-cepat berpakaian. Hanya ingin menikmati sisa waktu di antara seprai dan pelukan yang terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

“Mas…” katanya lirih. “Kalau pagi ini adalah perpisahan… janji jangan anggap aku cuma pelarian.”

Aku menatap matanya dalam, lalu menyentuh pipinya.
“Kamu bukan pelarian. Kamu rumah… yang datang terlambat, tapi tak pernah salah arah.”

Dan pagi itu pun berlalu… pelan-pelan, seperti detik terakhir dari mimpi indah yang terlalu sulit dibangunkan.