Episode 5: Cinta Kedua, Pertaruhan Kedua

Cinta kedua datang tanpa janji kemewahan. Tidak dengan bunga, cokelat, atau kejutan indah seperti awal-awal dulu. Tapi cinta kedua datang dengan satu hal yang lebih penting: keberanian untuk bertahan.

Aku dan Raka sudah semakin terbuka. Kami berbicara lebih jujur, lebih dalam, dan lebih berani menyentuh luka-luka lama yang dulu hanya kami bungkus dengan diam.

Hubungan ini tidak sempurna. Tapi kami sama-sama sadar, justru karena ketidaksempurnaan itulah kami ingin menjalaninya bersama. Saling menambal yang kurang. Saling menyembuhkan yang luka.

Tapi ketika kami mulai merasa yakin satu sama lain, kehidupan mengetuk dengan ujian baru: keluarga.

Pertemuan Pertama yang Menegangkan

“Sabtu ini ikut aku ke rumah, ya,” kata Raka di sela makan siang kami.

Aku terdiam. Bukan karena tak mau, tapi karena... takut.

Raka paham. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi udah saatnya mereka tahu siapa yang ada di hati aku sekarang.”

Hari Sabtu pun tiba. Aku mengenakan kemeja putih sederhana dan celana kulot hitam. Tangan dingin, keringat di telapak seolah tak berhenti meski AC mobil menyala.

Kami sampai di rumah orang tua Raka di daerah Cipete. Rumah besar bergaya semi-klasik. Halaman rapi. Kesan yang hangat, tapi... formal.

Ibu Raka menyambut kami. Cantik, anggun, dan tatapannya tajam menilai. Beliau sopan, tapi ekspresi wajahnya tidak bisa menipu.

Interogasi yang Halus

Makan siang berlangsung canggung. Ayah Raka lebih ramah, tapi ibunya seperti menyimpan banyak pertanyaan yang belum diucapkan.

Sampai akhirnya, di tengah percakapan tentang pekerjaan, Ibu Raka berkata, “Naya, kamu kerja di bidang kreatif, ya? Dunia itu cukup... bebas, ya? Banyak tantangan buat perempuan.”

Aku mengangguk. “Iya, Bu. Tapi saya bersyukur karena saya bisa bekerja sambil tetap menjaga nilai dan prinsip pribadi saya.”

Dia tersenyum kecil. Tapi aku bisa merasakan ketidakcocokan di sana.

Setelah kami pamit pulang, Raka menggenggam tanganku di mobil.

“Maaf. Ibu memang... cukup keras kalau urusan pasangan anaknya. Tapi aku bakal jelasin semuanya pelan-pelan.”

Aku mengangguk. Tapi hati kecilku tahu, ini akan jadi ujian berat.

Restu yang Tertunda

Seminggu setelah pertemuan itu, Raka mulai berubah sedikit. Bukan menjauh. Tapi ada tekanan dalam suaranya. Aku bisa merasakannya setiap kali kami bicara soal masa depan.

“Sebenarnya, Ibu pengen aku sama orang yang... lebih stabil,” katanya suatu malam. “Yang bisa dukung karierku secara sosial juga. Kamu tahu sendiri, dia punya lingkaran sosial yang... ya, cukup konservatif.”

Aku hanya tersenyum tipis. “Jadi aku nggak cukup stabil?”

“Bukan, bukan gitu. Kamu tahu aku sayang kamu. Tapi aku gak bisa bohong, restu Ibu penting buat aku.”

Pertaruhan Perasaan

Aku pulang malam itu dengan kepala berat. Di satu sisi, aku mengerti posisi Raka. Tapi di sisi lain, aku merasa... seperti sedang ikut ujian yang tidak pernah aku daftarkan.

Aku tak bisa mengubah siapa aku. Aku tidak lahir dari keluarga pengusaha. Aku tidak bekerja di lembaga prestisius. Aku hanya perempuan biasa yang pernah mencintai anaknya, dan ingin mencintai lagi—lebih dewasa, lebih sungguh-sungguh.

Tapi apakah itu cukup?

Apakah cinta kedua juga harus diuji dengan perbandingan yang tak adil?

Langkah Kecil Menuju Jawaban

Tiga hari setelahnya, aku menelepon Raka lebih dulu. Aku ingin bicara tanpa drama.

“Rak... kalau kamu harus memilih antara restu orang tua dan aku, kamu akan pilih apa?”

Dia terdiam di seberang.

“Jangan jawab sekarang. Aku cuma pengen kamu tahu, aku siap mundur kalau itu yang terbaik. Aku sayang kamu. Tapi aku gak bisa terus menerus jadi pilihan yang diragukan.”

Raka menarik napas. “Aku gak pernah ragu soal kamu, Nay. Aku cuma... gak mau kehilangan dua hal sekaligus. Kamu dan keluargaku.”

Epilog Episode 5: Antara Hati dan Restu

Cinta kedua adalah pertaruhan.

Kita tidak lagi memulai dari nol, tapi dari pengalaman. Kita tahu risiko, tahu luka, tahu pahitnya perpisahan. Tapi justru karena tahu, kita jadi lebih takut kehilangan.

Hari itu aku belajar: mencintai seseorang bukan hanya tentang berdua saja. Kadang, kita juga harus berhadapan dengan dunia yang ikut campur—keluarga, masa lalu, bahkan nilai-nilai yang tak selalu berpihak pada kita.

Tapi satu hal yang kupahami: cinta sejati akan memilih untuk bertahan, bahkan saat ia tahu jalannya tidak akan mudah.

Dan kini, aku menunggu. Bukan dalam penantian pasif, tapi dalam kepercayaan bahwa siapa pun yang benar-benar mencintaiku, akan memperjuangkan aku. Sampai akhir.

Hashtag:

#CLBK #CintaLamaBersemiKembali #PertaruhanCinta #RestuOrangtua #CintaDewasa #BlogRomantis #SerialCinta #Episode5 #DiaryCinta #CintaKembali