Ketika kasih sayang dunia maya terasa lebih nyata dari dunia nyata, Dira terjebak antara notifikasi dan kenyataan. Mana yang benar-benar tulus?

FYP

“Notifikasi itu bukan sekadar suara. Ia bisa menjadi getaran di hati, atau luka yang tak kunjung sembuh.”

Dira tak pernah menyangka hidupnya berubah sejak satu video TikTok masuk ke FYP-nya. Bukan video lucu, bukan pula video masak atau tren joget—melainkan sebuah video sunyi, seorang pria duduk di pinggir jendela sambil memainkan gitar, menyanyikan lagu lama yang membuat dadanya bergetar.

“Namanya Rega,” gumam Dira. Jemarinya tanpa sadar mengetuk profil akun itu. Tidak banyak followers, tapi semua videonya terasa... tulus. Suaranya serak, bukan serak yang dibuat-buat, tapi seperti pernah menyimpan luka yang sama dengan dirinya.

Sejak malam itu, dunia maya menjadi rumah keduanya. Setiap malam Dira menunggu video terbaru dari Rega. Setiap kali notifikasi masuk, senyumnya tak bisa disembunyikan. Ia mulai memberikan komentar, lalu Rega membalas. Dari komentar pindah ke DM. Dari DM, menjadi percakapan panjang tiap malam.

Kasih sayang dunia maya itu tumbuh perlahan. Tidak dengan pelukan, tapi dengan kata-kata yang terasa lebih hangat dari matahari pagi.


Antara Notifikasi dan Detak Jantung

“Kamu pernah ngerasa kayak semua orang deket secara fisik tapi jauh secara hati?” tanya Dira suatu malam di pesan teks.

“Setiap hari,” jawab Rega. “Makanya aku lebih suka dunia maya. Nggak ada tatapan menghakimi. Nggak ada ekspektasi berlebihan. Cuma... kita dan kata-kata.”

Itu malam ke-34 mereka berbicara tanpa jeda. Dira mulai merasa mengenal Rega lebih dari teman kerjanya, lebih dari sahabat yang tinggal hanya tiga rumah darinya. Dunia maya membuat mereka tanpa sekat. Tak ada rias wajah. Tak ada formalitas. Hanya dua jiwa yang saling mencari tempat pulang.

Rega mengirim foto langit dari balkon kamarnya. Dira membalas dengan foto kopi panas dari kamarnya. Mereka tak pernah bertemu, tapi rasanya... dekat sekali. Dira belum pernah mengizinkan laki-laki mana pun masuk sejauh itu ke ruang pribadinya.

“Kenapa kamu posting video itu?” tanya Dira suatu malam.

“Karena aku pengin didengar. Bukan dilihat,” jawab Rega. “Ternyata... kamu yang dengerin.”


Pelarian Bernama Dunia Maya

Dira bukan tidak sadar. Semua ini semu. Tidak ada jaminan Rega seperti yang ia bayangkan. Tapi kasih sayang yang tumbuh di antara baris teks dan video itu terlalu nyata untuk dianggap main-main.

Setiap pagi sebelum membuka jendela, Dira lebih dulu membuka TikTok. Setiap malam sebelum tidur, ia menunggu status online Rega. Dunia nyata mulai terasa asing. Teman-temannya mengeluh Dira makin pendiam, tapi hatinya sudah punya tempat baru untuk bersandar.

“Kamu tahu nggak, Dir,” tulis Rega, “Aku sempet kehilangan arah. Tapi sejak kamu muncul, rasanya hidup jadi punya tujuan. Meskipun kita cuma ngobrol lewat layar, rasanya nyata.”

Kalimat itu seperti pelukan dalam huruf. Dira menangis. Ia tidak tahu kenapa. Mungkin karena selama ini ia merasa sendirian. Mungkin karena akhirnya ada seseorang yang mengerti tanpa harus bertatap muka.


Janji Virtual

“Kita ketemu yuk,” tulis Rega suatu malam.

Jantung Dira berdetak tak karuan. “Kamu serius?”

“Serius. Aku mau buktiin kalau perasaan ini nggak cuma terjadi di dunia maya.”

Hari pertemuan pun disepakati. Mereka memilih tempat netral—kafe kecil di tengah kota. Dira datang lebih awal, mengenakan dress biru dan membawa buku puisi kesukaan mereka. Tangannya gemetar. Matanya sibuk mencari sosok yang selama ini hidup dalam layar ponsel.

Jam berlalu. Satu jam. Dua jam.

Rega tak pernah datang.

Dira membuka TikTok. Akunnya sudah hilang.


Setelah Notifikasi Berhenti

Hari-hari setelahnya seperti badai yang meninggalkan puing. Dira membuka setiap DM lama mereka, membaca ulang komentar, memutar ulang video Rega yang sempat ia simpan. Ia tak menemukan jejak Rega di mana pun.

Tidak ada nomor yang bisa dihubungi. Tidak ada nama lengkap. Hanya “@RegaSenja” dan kata-kata manis yang sekarang tinggal kenangan.

Dira ingin marah, tapi lebih dari itu... ia merasa kehilangan.

Kasih sayang dunia maya itu tidak palsu. Ia nyata. Tapi seperti dunia maya itu sendiri, ia bisa menghilang tanpa pamit.

“Mungkin dia hanya butuh teman untuk sementara,” ujar Dira kepada dirinya sendiri. “Dan aku yang hadir di saat itu.”

Ia belajar menerima. Bahwa tidak semua pertemuan punya akhir bahagia. Tidak semua kasih sayang perlu dimiliki. Kadang, cukup dikenang.


FYP Terakhir

Satu tahun kemudian, saat Dira sudah mulai kembali membuka hati dan hidupnya lebih seimbang, sebuah video muncul di FYP-nya.

Pria itu duduk di tepi jendela, memainkan lagu lama yang sama. Tapi kali ini wajahnya terlihat jelas. Dan deskripsinya menohok:

“Untuk kamu yang pernah membuatku percaya bahwa cinta bisa tumbuh tanpa sentuhan.”

Namanya bukan Rega lagi. Tapi Dira tahu itu dia. Ia tahu dari cara lelaki itu menatap kamera, dari lagu yang dipilih, dari senyum di akhir video.

Ia tidak memberi komentar. Ia tidak mengirim DM. Ia hanya memejamkan mata, dan membiarkan air mata jatuh pelan.

Kasih sayang dunia maya itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah ruang—dari layar ke hati, dari huruf ke kenangan.

Dan mungkin, itulah yang sebenarnya abadi.


Penutup

Dira kini kembali aktif di dunia nyata. Tapi ia tidak pernah melupakan Rega—nama yang mungkin bukan nama asli. Tapi perasaan yang ia bawa, tulus dan penuh makna.

“FYP itu algoritma. Tapi pertemuan kita... mungkin takdir,” ucap Dira pada dirinya sendiri, lalu menutup aplikasi TikTok untuk pertama kalinya dengan senyuman yang ikhlas.

“Terima kasih, kasih sayang dunia maya. Kamu pernah menjadi rumah yang nyaman, walau sementara.”


Daftar Isi
Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis