Sejak hari itu, aku dan Raka mulai lebih sering bertemu. Kami kembali terbiasa saling mengabari, berbagi lelucon, bahkan sekadar mengirim foto makanan favorit masing-masing seperti dulu. Tapi di tengah semua kehangatan itu, aku sadar satu hal: hatiku ternyata belum sepenuhnya sembuh.
Aku masih sering terbangun di malam hari, mendadak teringat percakapan kami yang dulu. Tentang rencana-rencana yang tak pernah jadi kenyataan. Tentang janji-janji yang harus dikubur karena realita yang lebih keras dari impian.
Dan yang paling menyakitkan adalah... aku tidak yakin apakah aku benar-benar siap kembali.
Bayangan Masa Lalu
Aku pernah patah karena Raka. Bukan karena dia menyakitiku, tapi karena kami tidak mampu mempertahankan apa yang telah kami bangun dengan susah payah. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, kalaupun takdir mempertemukan kami lagi, aku akan menjaga jarak.
Tapi lihat aku sekarang—tersenyum seperti remaja yang jatuh cinta, menunggu pesan balasan seperti gadis belasan tahun. Ternyata hati memang sulit diajak logika.
Satu malam, aku membuka album foto lama. Di situ, ada potret-potret kami saat liburan terakhir ke Yogyakarta, tiga bulan sebelum perpisahan itu. Senyum kami terlihat bahagia, tapi sekarang aku tahu, di baliknya ada banyak rasa takut dan keraguan yang tak sempat diucapkan.
Kabar yang Mengusik
Beberapa hari kemudian, aku makan siang bersama sahabatku, Riri. Di tengah obrolan ringan, dia bertanya pelan, “Eh... kamu tahu nggak, Raka sekarang kerja bareng mantannya?”
Aku terdiam. “Siapa?”
“Namanya Arum, katanya dulu mereka sempat deket pas kamu dan Raka lagi renggang dulu…”
Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak ingin cemburu, apalagi menuduh. Tapi aku juga tahu, rasa percaya adalah hal yang dulu rapuh di antara kami. Dan sekarang, itu kembali diuji.
Aku mencoba berpikir jernih. Raka tidak menyembunyikan siapa pun. Bahkan, beberapa kali dia menyebut nama Arum saat bercerita soal kantor. Tapi tetap saja, mendengar kabar itu dari orang lain membuat hatiku tak tenang.
Konfrontasi Lembut
Malam itu, aku dan Raka kembali bertemu. Kami duduk di warung kopi kecil yang baru buka di dekat stasiun. Suasana cukup tenang, hanya ada suara gerimis yang turun pelan.
“Aku ketemu Riri tadi,” kataku pelan. “Dia bilang kamu kerja bareng Arum?”
Raka terkejut. Tapi ekspresinya tetap tenang. “Iya. Arum kebetulan tim marketing di project yang sama.”
“Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau dia... mantan kamu?”
Dia terdiam sesaat, lalu menatapku lurus. “Karena aku nggak pengen kamu ngerasa insecure. Aku dan Arum cuma rekan kerja. Aku bahkan nggak pernah ngajak dia ngobrol di luar urusan kantor.”
Aku mengangguk pelan. Tapi hatiku masih terasa sesak.
Raka menyentuh tanganku. “Nay, aku tahu luka kamu belum sembuh. Luka aku juga belum sepenuhnya kering. Tapi aku nggak mau kita mengulang kesalahan karena hal-hal yang belum selesai.”
“Jadi kita ini... apa?” tanyaku akhirnya.
Dia menarik napas panjang. “Aku belum punya jawaban pasti. Tapi aku tahu aku mau menjadikan kamu bagian dari hidupku lagi. Kalau kamu masih mau.”
Perasaan yang Campur Aduk
Pulang malam itu, aku tidak langsung tidur. Di kepala, semua kenangan berputar seperti film pendek yang diputar ulang terus-menerus.
Raka memang bukan orang sempurna. Tapi dia pernah membuatku merasa dicintai sepenuhnya. Dan sekarang, dia kembali berusaha. Haruskah aku menolak hanya karena takut terluka lagi?
Tapi aku juga sadar, aku bukan Naya yang dulu. Aku tidak ingin mencintai setengah hati, dan aku juga tidak mau dicintai hanya karena nostalgia.
Satu Hari Tanpa Kabar
Keesokan harinya, Raka tidak menghubungiku. Tidak ada pesan selamat pagi, tidak ada cerita kantor seperti biasa. Aku mencoba menenangkan diri, tapi pikiran buruk mulai merayap pelan.
Jangan-jangan dia kembali dekat dengan Arum? Atau dia sedang berpikir ulang tentang kami?
Hingga malam, tidak ada kabar darinya. Aku hampir mengetik pesan, tapi kutahan. Aku ingin tahu, apakah dia akan tetap mengusahakan aku—seperti yang dia katakan.
Pukul 21.42, akhirnya ponselku bergetar.
“Maaf baru bisa kabarin. Seharian ini hectic banget. Aku kangen. Kamu baik-baik aja?”
Aku tersenyum kecil. Lalu membalas singkat:
“Aku juga kangen.”
Epilog Episode 2: Masih Ingin Berjuang
Cinta yang dulu pernah patah, kini mulai tumbuh kembali. Tapi bersamaan dengan itu, luka lama juga ikut terbuka. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah.
Tapi satu hal yang kupelajari dari masa lalu: mencintai bukan soal menghindari luka, tapi tentang berani menerima dan menyembuhkan luka itu bersama-sama.
Malam itu, aku tidur dengan satu harapan baru semoga kali ini, cinta kami tidak hanya bersemi, tapi juga bertahan.
Hashtag:
#CLBK #CintaLamaBersemiKembali #KisahCinta #SerialRomantis #CintaDewasa #BlogAsmara #DiaryCinta #Episode2 #CintaKembali #Romansa