Tenggelamnya Bahteraku: Luka di Tengah Layar Biru
Dulu, aku kira badai paling besar dalam hidupku adalah merintis usaha dari nol. Tapi ternyata, badai yang paling mengguncang datang dari dalam rumah, dari seseorang yang dulu kusebut “istriku”—tulang rusuk yang kuharap akan menua bersamaku.
Namaku Arman. Di tahun-tahun itu, Facebook masih jadi hal baru, BBM jadi ajang eksis, dan reuni-reuni sekolah mulai menjamur di mana-mana. Aku sedang sibuk membangun usaha kecil di bidang percetakan. Pelan-pelan mulai naik, meski baru setengah anak tangga menuju kesuksesan. Pulang malam bukan karena foya-foya, tapi karena kerja keras. Demi masa depan. Demi istri dan tiga anakku.
Istriku, Wina, mulai sering pamit menghadiri acara reuni. Awalnya kupikir itu hal biasa. “Teman lama, nostalgia,” katanya. Aku percaya. Tapi makin hari, makin sering ia pulang larut malam. Rumah terasa sepi. Anak-anak lebih sering bertanya, “Bunda ke mana?” daripada “Ayah kapan pulang?”
Aku mulai merasa ada yang tak beres. Sering kami bertengkar, kadang hanya karena hal sepele, kadang karena aku mengeluh rumah berantakan, anak-anak kurang perhatian. Ia malah membentak, “Kamu tahu nggak rasanya jadi aku? Aku juga capek!”
Puncaknya datang pada malam Sabtu. Ia pamit menghadiri acara “temu kangen” di luar kota. Katanya, menginap di rumah sahabatnya. Aku menahan rasa curiga, tapi tak kuutarakan. Malam itu panjang, penuh doa dan resah. Anak-anak sudah tertidur, dan aku duduk sendirian di ruang tamu menatap layar ponsel yang sunyi.
Pagi harinya, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Dari jendela, kulihat Wina turun dari boncengan seorang pria. Bukan sopir ojek, bukan saudara. Laki-laki asing. Aku keluar, berdiri menatap mereka berdua.
“Siapa dia?” tanyaku datar.
Wina gelagapan. “Ini… teman SMA-ku, kebetulan satu kota dengan tempat acara kemarin.”
Pria itu mencoba ramah, “Maaf, Pak. Saya cuma antar pulang. Nggak ada maksud apa-apa.”
Dadaku sesak. Amarah membakar, tangan mengepal. Ingin kulempar helm pria itu, ingin kupukul wajahnya. Tapi aku menatap anak-anak dari balik pintu, dan kutahan semua emosi itu.
Kami bertengkar hebat hari itu. Kata-kata kasar meluncur seperti peluru. Di puncak amarahku, aku menjatuhkan talak satu. Kata itu keluar begitu saja, tapi bobotnya seperti batu besar yang menenggelamkan seluruh hidupku.
Aku memutuskan pisah rumah. Anak-anak kubawa bersamaku—Putri, anak sulungku, baru 13 tahun. Adiknya, Dira, 12 tahun. Si bungsu, Raka, masih 7 tahun. Aku tahu mereka butuh ibunya. Tapi lebih dari itu, mereka butuh rumah yang damai.
Hari-hari setelah itu adalah perjuangan lain. Membesarkan tiga anak tanpa pasangan bukan hal mudah. Dapur harus tetap mengepul, sekolah harus tetap berjalan, dan hati harus tetap kuat meski luka belum sembuh.
Wina sempat datang, meminta maaf. Tapi luka yang menganga tak bisa sembuh hanya dengan kata maaf. Media sosial yang dulu mempertemukannya dengan “teman lama,” menjadi racun yang membunuh kepercayaan kami. Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati. Bukan hanya dalam cinta, tapi juga dalam membangun benteng untuk melindungi hati anak-anakku dari luka yang sama.
Kini, Putri sudah kuliah, Dira pun mulai menginjak dewasa, dan Raka sudah remaja. Mereka tahu kisah ini. Bukan untuk membenci ibunya, tapi untuk belajar bahwa cinta harus dijaga, dan teknologi tak boleh digunakan sembarangan. Karena layar biru bisa menyala terang—tapi juga bisa menenggelamkan bahtera rumah tangga jika tak bijak mengemudikannya.