Cerpen Remaja | Cinta Berlabuh di Jembatan

Cinta Berlabuh di Jembatan

Langit sore di kota kecil Banyu Rindu mulai berubah warna. Jingga menyapu awan tipis, sementara matahari perlahan turun ke peraduannya. Angin berembus pelan, membawa aroma sungai dan dedaunan basah yang khas. Di ujung jembatan kayu tua yang membentang di atas Sungai Serayu, seorang wanita berdiri diam, mengenakan gaun biru muda. Rambutnya tergerai, wajahnya menatap air sungai yang berkilau oleh pantulan cahaya senja.

Itu Lila. Dia kembali.

Setelah lima tahun, ia menepati janjinya — janji yang pernah ia buat bersama seseorang yang sangat berarti baginya. Jembatan itu bukan sekadar tempat biasa, melainkan saksi bisu dari kisah cinta yang sempat tumbuh, berkembang, lalu tenggelam dalam diam. Kini, ia kembali. Tapi apakah dia yang dulu bersamanya di sini, masih mengingat?

Cinta Berlabuh di Jembatan | Lila dan Arga | jembatan kayu tua | Sungai Serayu | senja jingga | teh hangat di jembatan | pemulihan luka cinta

Awal Sebuah Pertemuan

Lima tahun silam, Lila hanyalah gadis biasa yang sedang menata hidup. Ia baru saja lulus dari universitas dan menjalani hidup penuh tekanan dari orang tua yang mengatur masa depannya. Ia dijodohkan dengan Dimas, pria mapan, anak dari sahabat ayahnya. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, kecuali satu hal — Lila tidak mencintainya.

Suatu hari, menjelang pernikahan yang direncanakan, Lila memergoki Dimas berselingkuh. Dunia yang awalnya ia jalani dengan terpaksa, kini benar-benar runtuh. Lila berlari tanpa tujuan, dan tanpa sadar, ia tiba di jembatan kayu yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Ia duduk di ujung jembatan, menangis pelan, menyembunyikan wajah dari dunia.

Saat itulah Arga datang.

Seorang pria dengan penampilan santai, rambut agak berantakan, dan kamera tergantung di lehernya. Ia melihat Lila dari kejauhan, lalu perlahan mendekat. Bukannya bertanya, ia hanya duduk di sebelahnya sambil membuka termos kecil berisi teh hangat.

"Kadang, sore begini enaknya minum teh sambil diam," katanya tenang. “Mau?”

Lila mengangguk, menerima teh dalam gelas plastik kecil. Tidak banyak kata yang keluar dari mereka sore itu. Tapi entah mengapa, kehadiran Arga membawa ketenangan. Ia tidak bertanya, tidak memaksa, hanya ada — dan itu cukup.

Hari demi hari, mereka sering bertemu di jembatan itu. Kadang sore, kadang malam, terkadang tanpa janji. Mereka bicara tentang banyak hal: fotografi, musik, harapan, bahkan luka. Arga adalah pendengar yang baik, dan Lila merasa dirinya bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan pria itu.

Munculnya Rasa

Bersama Arga, Lila mulai belajar bahwa cinta tak selalu harus logis. Ia tahu Arga bukan pria dengan pekerjaan tetap atau masa depan yang terjamin. Arga adalah fotografer keliling yang hidup dari hasil pameran kecil dan penjualan cetakan. Tapi Lila tak peduli.

Ia mulai tertawa lepas. Ia mulai menulis kembali, sesuatu yang dulu ia tinggalkan. Ia merasa hidup.

“Aku suka jembatan ini,” kata Arga suatu sore sambil mengabadikan langit yang mulai ungu. “Jembatan itu menghubungkan dua sisi. Sama kayak manusia, kadang butuh penghubung untuk menyatukan yang berbeda.”

Lila menatap wajahnya, dan tanpa sadar, hatinya pun ikut bergetar. Ia jatuh cinta.

Namun dunia tak selalu ramah terhadap cinta. Ketika orang tua Lila tahu kedekatannya dengan Arga, mereka marah besar.

“Kamu mau hidup dengan pria yang tidak punya masa depan jelas?” bentak ayahnya.

“Arga baik, Ayah. Dia punya cita-cita. Dia berjuang!” Lila mencoba membela.

“Tapi itu bukan cukup untuk membangun rumah tangga. Jangan bodoh, Lila. Kamu anak tunggal. Kami ingin yang terbaik!”

Tertekan antara cinta dan keluarga, Lila pun memutuskan untuk pergi. Ia mendapat beasiswa studi ke Inggris dan memutuskan menerimanya. Tapi sebelum berangkat, ia menemui Arga untuk terakhir kali di jembatan itu.

“Aku harus pergi, Ga,” katanya pelan.

Arga menatapnya, tak berkata-kata. Matanya bicara lebih banyak daripada mulutnya.

“Aku ingin kamu bahagia,” akhirnya Arga bicara. “Kalau kamu kembali... dan kalau kamu masih ingin aku, temui aku lagi di jembatan ini. Lima tahun dari sekarang. Hari ini. Jam ini. Aku akan menunggu.”

Lila tersenyum dalam tangis. “Kalau memang takdir, aku akan kembali. Dan kamu harus ada di sini.”

Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya. Tak ada kata cinta diucapkan, tapi keduanya tahu: perasaan itu nyata.

Lima Tahun Berlalu

Waktu berjalan seperti air sungai yang tak pernah berhenti. Lila hidup di London, menyelesaikan studi, bekerja di perusahaan internasional. Ia punya karier, rumah, bahkan beberapa pria yang mencoba mendekatinya. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan rasa tenang yang ia rasakan saat bersama Arga.

Satu demi satu tahun berlalu. Lila menyimpan semua foto yang Arga pernah kirimkan. Foto-foto langit senja, jembatan, bahkan selfie iseng mereka berdua.

Kini, tepat lima tahun sejak perpisahan itu, ia kembali ke Banyu Rindu. Bukan untuk pekerjaan. Bukan untuk liburan. Tapi untuk menepati janji.

Ia berdiri di jembatan itu sejak pukul lima sore. Langit mulai jingga. Waktu yang sama ketika mereka dulu berpisah.

Satu jam berlalu. Arga belum juga muncul. Hatinya mulai cemas. Mungkinkah ia lupa? Atau mungkin... sudah bersama wanita lain?

Tepat saat matahari menyentuh garis cakrawala, suara langkah pelan terdengar. Lila menoleh — dan di sanalah dia.

Arga.

Ia masih membawa kamera, kini dengan jaket kulit dan rambut lebih rapi. Wajahnya masih sama — dan senyumnya masih sama.

“Kamu datang,” katanya.

Lila tak bisa menahan air matanya. “Kamu juga.”

Mereka saling menatap, lalu tertawa. Lima tahun seakan tak pernah ada.

Hidup yang Baru

Mereka duduk di ujung jembatan, berbagi cerita. Arga ternyata telah mengadakan pameran keliling, fotonya dimuat di berbagai majalah. Ia kini menjadi fotografer terkenal di komunitas seni.

“Aku masih menyimpan semua tulisanmu,” kata Arga sambil mengeluarkan buku kecil. “Tulisan-tulisan kamu waktu kita sering ngobrol di sini.”

Lila tersenyum. “Aku juga simpan semua fotomu.”

Malam itu, mereka tahu bahwa cinta yang sesungguhnya tidak mengenal jarak maupun waktu. Mereka kehilangan waktu lima tahun, tapi menemukan bahwa perasaan itu masih utuh — bahkan mungkin lebih dalam.

Di akhir percakapan, Arga berdiri, lalu mengeluarkan kotak kecil dari sakunya.

“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Tapi aku tahu satu hal... Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Lila terdiam. Arga membuka kotak itu — cincin sederhana, tapi indah.

“Will you build the bridge with me... selamanya?” tanya Arga.

Lila tersenyum dalam tangis. “Iya.”

Dan di jembatan tua yang dulu mempertemukan dan memisahkan mereka, cinta mereka akhirnya berlabuh — tidak hanya sebagai kenangan, tapi sebagai kenyataan yang akan mereka jalani bersama.


Daftar Isi
Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis