Namaku Arka. Dan aku mencintai seseorang tanpa pernah berani mengatakannya.
Namanya Lira.
Kami berteman sejak semester awal kuliah. Pertemuan pertama kami biasa saja saling tabrakan di lorong kampus saat dia terburu-buru ke kelas, dan aku kebingungan mencari ruangan. Tapi sejak hari itu, entah kenapa semesta terus mempertemukan kami.
Satu kelompok tugas. Duduk berdekatan di kelas. Bahkan saat kosan baruku ternyata hanya dua rumah dari tempat tinggalnya, aku mulai percaya mungkin ini bukan kebetulan.
Aku Mulai Menyimpan Rasa
Lira ceria, ramah, dan selalu bisa menemukan sisi baik dalam hal yang paling menyebalkan sekalipun. Sementara aku… pendiam, cenderung canggung, dan sering berpikir terlalu lama sebelum bicara.
Tapi Lira tak pernah menjauhiku. Justru dia yang paling sering mengajak aku makan bareng, menanyakan kabar saat aku tiba-tiba diam lebih dari biasanya.
Dari semua teman perempuan yang pernah kutemui, hanya dia yang membuatku nyaman tanpa pura-pura. Dan pelan-pelan, perasaan itu tumbuh.
Tapi aku diam.
Karena aku tahu, Lira tidak melihatku seperti itu.
Menjadi ‘Teman Baik’
Dua kata yang sering jadi perangkap: teman baik.
Setiap Lira patah hati, aku yang pertama ia cari. Saat cowok yang ia sukai tak membalas pesan, ia mengadu padaku. Dan ketika ia bahagia karena seseorang mengajaknya nonton, aku ikut tersenyum meski hatiku remuk.
Aku pernah mencoba berkata jujur. Berkali-kali. Tapi setiap kali kesempatan itu muncul, aku selalu kalah oleh ketakutan: Bagaimana kalau aku kehilangan dia sepenuhnya?
Jadi aku memilih diam. Menjadi tempatnya kembali, tapi tak pernah jadi alasan ia bertahan.
Lima Tahun Berlalu
Kami lulus. Masuk dunia kerja. Tapi hubungan kami tetap erat. Bahkan mungkin lebih dekat dari sebelumnya. Setiap hari masih bertukar pesan. Video call tengah malam. Saling kirim makanan saat salah satu sedang sakit.
Lira pernah bertanya, “Kenapa kamu belum pacaran, Ka? Padahal kamu baik banget. Kalau aku jadi cewek lain, udah tak sikat kamu dari dulu.”
Aku tertawa waktu itu. Tapi hatiku berteriak, “Kalau kamu tahu, aku justru nunggu kamu.”
Lira Jatuh Cinta Lagi
Suatu hari, Lira mengenalkanku pada seseorang.
“Namanya Rian. Aku lagi deket, nih. Sepertinya... bisa jadi yang serius.”
Aku menatap matanya yang berbinar saat bercerita. Tentang bagaimana Rian perhatian, dewasa, dan membuatnya merasa ‘utuh’.
Aku mendengarkan. Memberikan saran. Bahkan ikut mendukung, meski hatiku seperti tenggelam perlahan.
Rian memang baik. Dan aku tahu, jika Lira bahagia bersamanya, siapa aku untuk mencegah?
Tapi malam itu, aku menangis. Dalam diam. Dalam gelap kamar kos yang sunyi.
Sampai Semesta Menguji Hati
Setahun kemudian, Lira patah hati. Rian ternyata hanya sedang “mencoba”, dan meninggalkan Lira saat komitmen mulai dibicarakan.
Ia datang padaku. Dengan air mata, suara gemetar, dan hati yang pecah.
“Kenapa aku selalu milih orang yang salah, Ka?” isaknya di telepon.
Aku ingin bilang, “Karena kamu tak pernah melihat orang yang benar, tepat di depanmu.”
Tapi lagi-lagi, aku hanya berkata, “Karena kamu terlalu tulus untuk dicintai setengah-setengah.”
Kami diam lama. Hanya suara tangisnya yang terdengar. Lalu dia berkata:
“Kamu gak pernah ninggalin aku, ya…”
Sebuah Surat yang Tak Pernah Kukirim
Di hari ulang tahunnya yang ke-27, aku menulis surat. Bukan lewat chat, bukan lewat status tapi surat sungguhan, dengan tulisan tangan.
"Lira,
Selama lima tahun ini, kamu adalah alasan aku bangun dengan semangat. Alasan kenapa aku jadi pribadi yang lebih berani, meski hanya dalam diam.
Aku mencintaimu. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuat kekuranganku terasa tidak memalukan.
Tapi aku tahu, cinta tidak selalu harus memiliki. Jadi jika suatu hari kamu benar-benar bahagia dengan seseorang yang bukan aku, cukup izinkan aku mengenangmu dengan manis.
Dengan cinta yang tidak pernah kau tahu,
Arka."
Surat itu... kusimpan. Di laci yang terkunci. Aku tidak pernah berani memberikannya.
Pernikahan Itu Datang
Tiga tahun setelah Rian, Lira benar-benar menemukan seseorang. Namanya Damar. Seorang dokter muda. Keluarganya baik. Sopan. Berkharisma.
Lira memintaku hadir di hari pernikahannya. “Kamu harus datang. Kamu bagian penting dalam hidupku.”
Dan aku datang. Dengan senyum terbaikku. Dengan jas abu-abu dan sepatu yang baru kubeli hanya untuk hari itu.
Dia cantik. Bahagia. Dan saat ia menggenggam tangan suaminya, aku tahu aku telah kalah. Bukan karena aku tak cukup baik, tapi karena aku tak pernah mencoba bertarung.
Sebuah Akhir yang Sunyi
Pulang dari pernikahannya, aku duduk di kamar. Kubuka surat itu lagi. Kertasnya sedikit menguning, tintanya mulai pudar.
Lalu perlahan, tanpa ragu, aku membakarnya.
Bukan karena aku tak mencintainya lagi, tapi karena aku memilih mengikhlaskannya sepenuhnya.
Karena cinta dalam diam... memang tak selalu harus disuarakan. Kadang, cukup dipeluk dalam hati, dan dibiarkan pergi dalam doa.
Epilog: Tentang Cinta yang Tak Pernah Dimulai
Tidak semua cinta butuh jawaban. Tidak semua perasaan harus berbalas.
Beberapa cinta hanya lahir untuk menumbuhkan seseorang. Untuk mengiringi langkahnya dari jauh. Untuk menjadi saksi kebahagiaannya, meski kita bukan bagian dari kisahnya.
Aku masih mencintainya. Tapi aku baik-baik saja.
Karena kini aku tahu, mencintai dalam diam adalah bentuk paling jujur dari rasa—saat kita tak meminta apa-apa selain melihat orang itu bahagia.
Dan untuk Lira, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu... dari jauh.
Hashtag:
#CintaDalamDiam #CerpenSedih #CintaTakTerungkap #CeritaCinta #CintaTakHarusMemiliki #RomantisSunyi #ArkaDanLira #HatiYangDiam #Cerpen1500Kata #CintaSendiri
Daftar Isi