Senja Terakhir di Ancol
Mentari memandangi langit senja yang berwarna jingga keemasan. Debur ombak pelan-pelan menyentuh bibir pantai, seolah ikut bernostalgia bersama kenangannya. Hari itu, tepat satu tahun sejak Rangga menghilang dari hidupnya. Dan kini, ia duduk sendiri di bangku kayu tua di tepi Pantai Ancol, tempat mereka biasa bertemu dulu.
Ia membuka surat yang telah lusuh di genggamannya. Kertas itu mulai menguning, bekas lipatan menonjol di sana-sini. Tapi isi suratnya masih sangat jelas dalam ingatan.
“Mentari, jika suatu hari kamu merasa rindu, datanglah ke Ancol saat senja. Mungkin aku juga akan ada di sana.”
Dulu ia pikir itu hanya kalimat perpisahan yang indah. Tapi semakin hari, kalimat itu seperti janji yang belum terpenuhi. Selama seminggu terakhir, Mentari selalu datang ke pantai ini setiap sore. Duduk dan menunggu. Namun bayangan Rangga tak pernah muncul.
Hari ini, ia kembali, dengan setengah hati dan sedikit harapan. Angin sore menyibak rambut panjangnya yang terurai. Ia mengenakan dress putih sederhana dan sandal datar. Tak berlebihan, tapi cukup cantik jika sewaktu-waktu Rangga benar-benar muncul.
“Masih saja kamu suka menunggu,” sebuah suara terdengar dari arah belakangnya.
Mentari menoleh cepat. Jantungnya berdegup kencang.
“Rangga…” katanya pelan, seolah tak percaya dengan yang dilihat.
Laki-laki itu berdiri dengan tubuh jangkung dan wajah yang lebih tirus dari yang terakhir ia ingat. Tapi senyum dan tatapan teduh itu masih sama. Tak berubah sedikit pun.
“Sudah lama ya…” Rangga berkata, lalu duduk di sebelah Mentari.
Mentari mengangguk, tapi bibirnya sulit mengeluarkan kata. Ia takut ini hanya mimpi. Atau khayalan karena terlalu rindu.
“Aku sempat berpikir kamu nggak akan datang,” katanya akhirnya.
“Aku datang setiap hari sejak seminggu lalu,” kata Rangga. “Tapi aku duduk di ujung sana. Aku takut kalau kamu nggak datang. Tapi aku juga takut kalau kamu datang dan membenciku.”
Mentari terdiam. Perasaannya campur aduk. Marah, senang, rindu, kesal, dan bingung, semua bersatu jadi satu di dada.
“Kamu pergi tanpa penjelasan, Rangga. Menghilang seperti bayangan. Bahkan saat aku paling butuh kamu.”
Rangga menghela napas. “Ayahku kena stroke. Semua terjadi begitu cepat. Aku pulang ke kampung, dan saat itu aku... nggak tahu bagaimana menjelaskannya ke kamu.”
“Kamu bisa telepon, kirim pesan. Apapun! Tapi kamu memilih diam,” kata Mentari. Suaranya mulai bergetar.
“Aku pengecut,” aku Rangga pelan. “Aku takut kehilanganmu karena keadaanku yang nggak pasti. Dan aku pikir, dengan pergi diam-diam, kamu bisa lebih mudah lupa.”
“Nyatanya aku nggak lupa.” Air mata Mentari menetes. “Setiap kali senja, aku selalu ingat kamu. Bahkan saat aku mencoba mencintai orang lain, bayangmu masih di sini.”
Mereka kembali diam. Debur ombak menjadi satu-satunya suara yang menemani. Matahari mulai merendah, menyisakan semburat emas di cakrawala.
“Aku nyesel, Mentari,” kata Rangga. “Setiap hari aku berpikir, andai waktu bisa diulang…”
“Tapi waktu nggak bisa diulang, Rangga,” potong Mentari. “Yang bisa kita lakukan cuma memperbaiki masa depan.”
Rangga menatapnya, harap dan cemas terpancar di matanya.
“Kalau aku ingin memperbaikinya bersama kamu, masih bisa?”
Mentari menatap ke laut. Lalu ke mata Rangga. “Aku nggak tahu. Tapi... aku belum berhenti berharap.”
Senyum kecil muncul di wajah Rangga. Ia menggeser duduknya lebih dekat.
“Kalau begitu, maukah kamu jalan sama aku sore ini? Seperti dulu, saat kita masih saling percaya?”
Mentari menatap tangannya. Ragu. Tapi perlahan, ia meraih tangan Rangga. “Kita coba,” bisiknya.
Mereka pun bangkit dan mulai berjalan menyusuri pasir pantai, seperti dua jiwa yang pernah retak, kini mencoba menyatu kembali.
Sinar lampu-lampu taman mulai menyala ketika mereka berhenti di dekat dermaga kecil. Di sana, beberapa pasangan menikmati suasana malam, beberapa memancing, dan sebagian lagi hanya duduk berdua sambil bercengkerama.
Rangga dan Mentari duduk di tepi dermaga, kaki mereka menjuntai menyentuh permukaan air laut yang tenang.
“Dulu kita sering ke sini ya?” kata Rangga. “Kamu ingat waktu kita hampir jatuh ke laut karena rebutan pop mie?”
Mentari tertawa pelan. Tawa yang telah lama hilang.
“Aku ingat. Dan kamu tetap minum airku padahal udah kukasih saus sambal ekstra.”
Rangga tertawa. “Itu malam yang paling pedas dalam hidupku.”
Suasana perlahan menjadi ringan. Seakan-akan luka dan kecewa yang dulu menyelimuti mulai luruh bersama angin malam.
“Kamu sekarang tinggal di mana?” tanya Mentari.
“Masih di kampung. Tapi aku rencana pindah lagi ke Jakarta. Ayahku sekarang sudah lebih stabil, dan aku dapat tawaran kerja di sini.”
Mentari mengangguk. “Aku sekarang kerja di agensi pariwisata, kebetulan sering ngatur acara di Ancol juga. Mungkin takdir ya, kita dipertemukan lagi di tempat ini.”
“Mungkin memang belum selesai,” kata Rangga. “Kita.”
Mentari menoleh. “Kamu yakin kita bisa mulai dari awal?”
“Aku nggak minta kita kembali seperti dulu. Aku cuma ingin jadi bagian dari harimu lagi. Meski pelan, asalkan kamu izinkan.”
Mentari menatap bintang yang mulai muncul satu-satu. “Aku nggak butuh banyak janji, Rangga. Cukup satu: jangan pergi tanpa kata.”
Rangga menggenggam tangannya erat. “Janji. Kali ini aku akan tinggal. Kita bisa mulai dari ngobrol setiap hari, saling kabar, lalu nanti mungkin kita bisa ”
“Nikah?” potong Mentari sambil tersenyum nakal.
Rangga tertawa. “Kamu masih suka membuatku gugup.”
Mentari membalas tawanya. “Dan kamu masih suka berekspresi seperti bocah SMP.”
Malam itu, tawa mereka kembali mengisi ruang kosong yang selama ini hanya berisi rindu. Tak perlu kata cinta diucapkan. Kehadiran satu sama lain saja sudah cukup menghangatkan.
Beberapa minggu kemudian, mereka resmi pacaran kembali. Tapi kali ini lebih dewasa. Mereka sering menghabiskan waktu di Ancol—bersepeda, makan seafood, atau sekadar duduk di bangku kayu yang menjadi saksi pertemuan kembali mereka.
Mentari mulai terbuka soal luka yang sempat dia simpan. Rangga pun perlahan memperbaiki semua yang sempat ia abaikan. Mereka tidak sempurna, tapi mereka belajar saling tumbuh.
Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam, Rangga membawa Mentari ke pantai dengan kejutan kecil. Ada tikar piknik, dua gelas es kelapa muda, dan satu kotak kecil berisi cincin sederhana.
“Mentari…” katanya dengan suara lembut. “Bolehkah aku mengisi semua senjamu, bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai pendamping hidupmu?”
Air mata Mentari mengalir. Tapi kali ini bukan karena kecewa, melainkan bahagia.
“Ya, Rangga. Aku bersedia,” jawabnya sambil memeluk laki-laki itu.
Langit sore itu seolah ikut bersorak. Laut tenang, angin lembut, dan cahaya senja jatuh tepat di wajah mereka berdua. Di pantai yang sama, di bawah langit yang sama, cinta yang sempat tertunda akhirnya berlabuh dengan damai.
Dan bagi Mentari, senja tak lagi jadi waktu menunggu dalam rindu, melainkan awal dari kisah yang akan mereka tulis bersama dari Ancol, hingga selamanya.
Daftar Isi