Bab I: Pagi yang Pernah Terukir Luka
Hujan merintih di sela-sela senja yang muram, seperti bisikan rahasia pada dedaunan tua di sebuah taman kampus. Lila, dengan rambut hitamnya yang sudah mulai merona sunyi, duduk termenung di bangku taman, menyaksikan tetesan hujan menyapu kepedihan yang tersisa. Setiap tetes yang jatuh bagai lukisan patah hati yang ia simpan terlalu lama.
Di tangannya, tergenggam selembar kertas lusuh undangan pernikahan Arfan, lelaki yang pernah mengisi hari-harinya dengan janji-janji manis dan impian yang penuh warna. Namun, waktu telah merenggut semua itu. Lima tahun bersamanya berubah menjadi kenangan perih, meninggalkan jejak luka yang masih segar di relung hatinya.
“Aku harus menikah, Lil. Bukan karena aku tak pernah mencintaimu, tapi karena dinding-dinding takdir yang kutempa bersama keluarga,” ujar Arfan dalam bisikan terakhirnya, dua bulan lalu. Ucapan itu, bagai duri yang tertancap dalam sanubari, menyisakan kebingungan dan perih yang tak terperi.
Lila tidak menangis kala itu, karena air matanya telah lama berhenti mencari-cari pelarian. Ia memilih untuk menyimpan setiap rasa sakit itu hingga menjadi kisah yang mungkin suatu hari bisa ia ubah menjadi puisi.
Bab II: Jejak Langkah di Tengah Kota
Waktu berjalan, membawa Lila jauh dari hening kampus ke gemerlapnya dunia penerbitan di Jogja. Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah lelah, ia menemukan kekuatan dalam menuliskan setiap detik kepedihan dan tawa yang pernah terukir. Kata demi kata tersusun indah dalam novel pertamanya, berjudul "Tuhan, Tolong Jangan Bangunkan Aku dari Luka Ini." Buku itu menjadi saksi bisu bahwa luka pun bisa mekar menjadi karya yang menginspirasi.
Setiap kata adalah pengakuan, setiap paragraf adalah belahan hati yang ia bagi kepada dunia. Di setiap sudut ruang baca dan panggung sastra, Lila memahatkan keindahan dari kisah-kisah pahitnya, seolah ia percaya bahwa setiap letusan air mata memiliki makna yang lebih dalam.
Pada suatu sore, di sebuah acara bedah buku yang diterangi lampu-lampu temaram, Lila melangkah perlahan dengan senyum yang samar namun tegar. Di antara kerumunan, tatapan tajam seorang pria menarik perhatiannya. Adalah Arfan, dengan rambutnya yang kini sedikit panjang dan mata yang masih menyimpan kehangatan masa lalu.
“Arfan?” suara Lila menggelegar, mencampur harapan dengan kejutan yang mendalam.
Arfan pun mendekat, membawa selembar buku yang kini menjadi simbol penyesalan dan titik awal penebusan diri. “Kau pernah jadi inspirasiku untuk menulis luka,” katanya lirih, seolah setiap kata diucapkannya adalah renungan mendalam.
Bab III: Menggali Pelangi di Balik Mendung
Di balik tatapan yang dulu menyimpan kesedihan, kini Arfan mengungkapkan kebenaran pahit—pernikahan yang ia jalani tak pernah mampu menembus kekosongan hati. “Aku cerai, Lil… Pernikahan itu, meski tampak sempurna di mata dunia, telah lama terkikis oleh kekosongan yang aku tak mampu sambung.” Ucapannya menggema di antara deru musik yang mendayu.
Lila menatap mata pria itu, seolah mencoba membaca setiap lapisan penyesalan dan kerinduan yang terpendam. “Mungkin aku pernah terluka oleh janji yang hilang, namun luka itu mengajarku cara mencintai dengan segenap jiwa,” bisiknya, penuh kerendahan hati dan kekuatan yang baru ditemukan dari dalam dirinya.
Mereka berbincang hingga malam menyelimuti, di mana cerita-cerita lama perlahan berubah menjadi harapan baru. Lila menyadari bahwa setiap perih yang ia alami telah menapaki jalan untuk menemukan dirinya kembali—bukan untuk saling menyakiti, melainkan untuk menyembuhkan.
Bab IV: Awal yang Baru
Waktu seakan berpaling memberi kesempatan kedua. Dua tahun kemudian, di sebuah pelaminan yang sederhana namun penuh makna, Lila dan Arfan berdiri di ambang janji baru. Tak ada lagi tirai kesedihan yang menyembunyikan keindahan mereka; kini, mata mereka memancarkan sinar harapan yang telah melalui badai.
Di hadapan para saksi, Lila mengulurkan tangan, mengajak Arfan untuk menyongsong hari esok. “Kita telah terbukti, bahwa dari perihnya hidup ini, kita bisa menumbuhkan bunga-bunga indah jika kita mau membuka diri,” ungkapnya, dengan suara lembut penuh keyakinan.
Arfan membalas dengan senyum yang tulus, “Aku rela menunggu, berapa pun waktu yang kita butuhkan, demi menebus segala salah yang lalu, demi kita yang baru.” Kata-kata itu, bagai janji yang terukir abadi di antara embun pagi dan angin senja.
Epilog: Pelangi di Balik Awan
Kisah mereka adalah serangkaian puisi yang ditulis oleh waktu, di mana setiap helaian cerita mengajarkan bahwa cinta, bagai pelangi, tak kan pernah hilang meski didera hujan deras. Awal yang penuh pahit kini digantikan oleh manisnya kebersamaan; setiap luka berubah menjadi pelajaran untuk tumbuh dan mencintai lebih dalam.
Di antara gemerisik angin dan aroma kopi yang menenangkan di pagi hari, Lila dan Arfan berjalan beriringan. Meskipun masa lalu mereka seolah tersimpan dalam lembaran hitam yang kelam, mereka telah memilih menulis ulang nasib dengan tinta kebahagiaan dan keyakinan.
Di penghujung cerita, mereka bukan lagi hanya dua jiwa yang terluka, melainkan pasangan yang telah mengerti bahwa cinta sejati mampu menyembuhkan segala perih dan membuat hidup ini layak untuk dijalani. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan, kisah mereka kini berkilau dalam nuansa warna-warni yang memukau—sebuah tanda bahwa setiap luka, jika disambut dengan cinta yang tulus, akan menghasilkan akhir yang manis dan abadi.
