HUJAN DI BULAN JUNI
Versi Sudut Pandang Galang
Bab 1: Tatapan dari Jendela
Aku selalu memperhatikan rumah itu. Rumah dengan pagar putih yang warnanya mulai pudar, dengan pot bunga kenanga di sisi kanan terasnya. Rumah itu sunyi, tapi bagiku terasa hidup—karena penghuninya.
Namanya Lestari.
Aku tak pernah berani menyapa. Apa yang bisa dikatakan seorang anak SMA pada seorang perempuan seperti dia? Matanya dalam, suaranya pelan. Setiap kali aku melewati rumah itu sepulang sekolah, aku berharap ia sedang menyiram bunga, atau sekadar duduk di kursi rotan sambil menjahit. Tapi aku hanya berjalan, menoleh, dan menunduk lagi.
Kadang aku membayangkan: bagaimana rasanya mengobrol dengannya?
Tapi aku hanya remaja. Dan dia… terlalu jauh dari jangkauanku.
Sampai hari itu. Hari ketika hujan turun dan aku lupa membawa payung.
Bab 2: Di Bawah Payung yang Sama
Aku berteduh di warung tua dekat rumahnya. Hujan mengguyur deras, dan bukuku basah. Aku menyesal tak membawa jas hujan. Tapi anehnya, aku tak merasa terlalu peduli.
Lalu suara itu datang.
“Kamu Galang, ya?”
Aku mendongak. Ia berdiri di depanku, membawa payung. Wajahnya lebih cantik dari yang pernah aku lihat dari jauh. Rambutnya diselip ke belakang telinga, dan senyumnya—Tuhan, senyumnya seperti meredakan gemuruh di dadaku.
“Sini, ikut aku ke rumah. Nanti kamu masuk angin.”
Jantungku berdetak tak karuan. Aku berjalan di bawah payung yang sama dengannya. Jarak kami begitu dekat. Aku bisa mencium aroma sabun yang lembut dari bajunya. Rasanya seperti mimpi.
Bab 3: Teh Hangat dan Pintu yang Terbuka
Di ruang tamunya, ia menyajikan teh dan pisang goreng. Tangan kami nyaris bersentuhan saat ia menyodorkan cangkir.
Aku ingin bicara. Aku ingin mengatakan sesuatu—apa saja. Tapi aku terlalu gugup.
Setelah hari itu, aku sering ke rumahnya. Kadang pura-pura lewat, kadang sengaja mampir dan menawarkan bantuan. Ia tak pernah menolak.
Kami bicara lebih banyak. Tentang kain dan warna, tentang cuaca dan buku. Lestari ternyata suka membaca puisi lama. Sapardi. Amir Hamzah. Chairil.
Hatiku menjerit dalam diam. Ia sempurna.
Bab 4: Puisi yang Kuselipkan Diam-diam
Aku mulai menulis puisi untuknya. Bukan puisi yang keras atau berat—tapi yang sederhana. Seperti:
“Kau tak melihatku datangTapi aku tumbuh dari hujanMengendap di tanah hatimu.”
Aku selipkan di bawah pot kenanga di depan rumah. Tak pernah aku tahu apakah ia membacanya atau tidak. Tapi satu sore, saat aku datang, potnya berpindah tempat—dan puisiku tak ada lagi.
Dia membaca. Dan menyimpannya.
Itu cukup.
Bab 5: Pertarungan dalam Diri
Aku tahu dunia tak akan setuju. Seorang pemuda yang belum lulus SMA jatuh cinta pada seorang janda muda? Itu bukan kisah cinta di novel populer.
Tapi aku juga tahu apa yang aku rasakan bukan kekaguman sesaat. Aku mencintai Lestari bukan karena dia cantik atau baik hati—tapi karena bersamanya, aku bisa diam tanpa merasa canggung. Karena saat aku bicara, ia mendengarkan bukan untuk menjawab, tapi untuk memahami.
Namun malam itu, ia bicara.
“Kamu tahu, aku sembilan tahun lebih tua darimu, Galang.”
Aku tahu. Tapi aku tak peduli.
“Aku janda,” lanjutnya.
Aku tahu. Dan justru itu membuatku menghormatinya lebih.
Aku menjawab pelan, “Hati tidak mengenal umur, Mbak.”
Dia menangis malam itu. Dan aku hanya bisa diam, menunggu ia selesai.
Bab 6: Meninggalkannya Demi Janji
Lulus SMA, aku diterima di Yogyakarta. Jauh. Tapi aku harus pergi. Untuk masa depan. Untuk bisa pantas berdiri di sampingnya suatu hari nanti—jika ia masih mau.
Aku datang malam sebelum keberangkatan. Kukatakan semua: perasaanku, ketulusanku, dan janji bahwa aku akan kembali.
“Mungkin nanti kamu sudah menikah,” kataku.
Ia menatapku lama. “Mungkin. Tapi aku akan tetap mengingatmu sebagai lelaki pertama yang membuatku merasa hidup lagi.”
Aku tak tahu apakah itu cukup. Tapi aku pergi dengan hati penuh. Aku tak menyesal mencintainya.
Bab 7: Lima Tahun Kemudian
Yogyakarta mengajariku banyak hal. Tentang hidup, tentang kesabaran, dan tentang menepati janji. Aku bekerja keras. Aku menulis. Aku tumbuh.
Dan pada suatu sore, ketika hujan turun seperti lima tahun lalu, aku kembali.
Rumahnya masih sama. Pot kenanga masih di tempatnya. Tapi kali ini, aku membawa map berisi puisi-puisiku. Semua tentangnya. Tentang kenangan. Tentang harapan.
Aku tekan bel.
Pintu terbuka.
Ia berdiri di sana—masih sama. Tapi matanya lebih tenang. Lebih damai.
“Aku kembali,” kataku. “Sudah bolehkah aku pulang?”
Ia tak menjawab. Tapi ia membuka pintu lebih lebar.
Dan aku tahu: cinta memang tidak selalu tentang seberapa cepat kita memilikinya. Tapi tentang seberapa sabar kita menjaganya.
TAMAT (Versi Galang)
Daftar Isi