Belajar dari Bunglon: Bijak Menyesuaikan Diri Tanpa Kehilangan Jati Diri
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan, “Orang kami seperti bunglon.” Sebuah kalimat sederhana yang menyimpan makna dalam. Bunglon, makhluk kecil yang dikenal karena kemampuannya mengubah warna kulit sesuai lingkungan, sering dijadikan perumpamaan bagi manusia yang mudah menyesuaikan diri. Namun, di balik makna itu, tersimpan pelajaran besar tentang bagaimana kita seharusnya bersikap di tengah perubahan dunia yang cepat tanpa kehilangan jati diri.
1. Bunglon dan Kebijaksanaan dalam Beradaptasi
Bunglon tidak mengubah warna kulitnya untuk berpura-pura. Ia melakukannya agar bisa bertahan hidup. Saat berada di dedaunan hijau, ia menjadi hijau agar tidak terlihat oleh pemangsa. Saat berpindah ke batang cokelat, warnanya menyesuaikan agar tetap aman.
Begitu pula manusia. Dalam perjalanan hidup, kita sering harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru — entah tempat kerja, teman, budaya, atau zaman yang terus berubah.
Namun, sayangnya, banyak orang salah memahami makna adaptasi. Mereka mengira menjadi seperti bunglon berarti harus berubah sepenuhnya mengikuti orang lain. Padahal, esensi sejati dari kemampuan beradaptasi adalah menyesuaikan perilaku tanpa mengorbankan nilai dan prinsip diri sendiri.
Bunglon hanya mengubah warna kulitnya, bukan bentuk tubuhnya. Artinya, ia tetap dirinya sendiri, hanya menyesuaikan tampilan luar demi bertahan. Inilah pelajaran yang perlu kita renungkan.
2. Dunia yang Terus Berubah: Butuh Jiwa Bunglon yang Cerdas
Kita hidup di zaman yang berubah begitu cepat. Dunia digital berkembang pesat, nilai sosial bergeser, dan cara berpikir masyarakat berevolusi setiap hari. Dalam situasi seperti ini, menjadi kaku dan menolak perubahan hanya akan membuat kita tertinggal.
Bayangkan seorang pekerja yang enggan belajar teknologi baru karena merasa sudah cukup dengan cara lama. Atau seseorang yang tetap mempertahankan cara berpikir sempit di tengah dunia yang semakin terbuka. Mereka seperti batu karang yang keras, sulit berubah, dan akhirnya tergerus ombak kehidupan.
Menjadi seperti “bunglon” dalam konteks positif berarti memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan cerdas.
Kita bisa berubah, tetapi bukan karena ingin menyenangkan orang lain — melainkan karena ingin bertumbuh dan tetap relevan.
Kita bisa menyesuaikan cara berbicara, berpakaian, atau bekerja sesuai lingkungan, namun tetap memegang nilai kejujuran, integritas, dan kerja keras.
3. Antara Adaptasi dan Kepalsuan
Namun, di sisi lain, ada makna negatif dari ungkapan “seperti bunglon.”
Ungkapan ini kadang digunakan untuk menyindir orang yang tidak punya pendirian — mereka yang berubah-ubah sikap tergantung siapa yang dihadapi.
Di depan atasan bersikap manis, tapi di belakang suka mengeluh. Di hadapan teman berpura-pura baik, namun di dalam hati menyimpan iri.
Itulah bentuk kepalsuan sosial yang sering membuat hubungan antar manusia menjadi rapuh.
Menyesuaikan diri bukan berarti menjadi orang lain.
Kita bisa beradaptasi dengan budaya perusahaan, tapi tidak perlu menjilat atasan.
Kita bisa mengikuti tren zaman, tapi tidak harus kehilangan moral dan etika.
Kita bisa belajar dari orang lain, tapi tidak perlu meniru semuanya.
Menjadi bunglon sejati berarti tahu kapan harus menyesuaikan diri dan kapan harus berkata: “Inilah aku.”
4. Pentingnya Jati Diri di Tengah Perubahan
Dalam dunia yang serba dinamis, jati diri adalah jangkar yang menjaga kita tetap teguh.
Jati diri bukan sekadar nama atau latar belakang, melainkan nilai-nilai dan prinsip hidup yang kita pegang.
Tanpa jati diri, kita mudah goyah, mudah terbawa arus, dan kehilangan arah.
Banyak orang sukses bukan karena mereka berbeda dari orang lain, tapi karena mereka tetap setia pada prinsip hidupnya di tengah berbagai perubahan.
Mereka menyesuaikan diri dengan situasi, tapi tidak menggadaikan integritas.
Misalnya, seorang pengusaha yang tetap jujur meskipun persaingan bisnis keras.
Atau seorang karyawan yang tetap sopan meskipun lingkungannya kasar.
Atau seorang anak muda yang tetap rendah hati di tengah dunia yang memuja popularitas.
Mereka semua “seperti bunglon” dalam hal adaptasi, namun tetap memiliki warna asli di dalam hati.
5. Belajar dari Bunglon: Seni Menjadi Fleksibel Tanpa Hilang Diri
Ada tiga pelajaran utama yang bisa kita ambil dari filosofi bunglon dalam konteks pengembangan diri:
a. Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Baru
Ketika kita berpindah ke tempat baru — baik pekerjaan, sekolah, atau komunitas — penting untuk mempelajari budaya setempat.
Seorang yang cerdas tidak langsung menghakimi, melainkan mengamati, memahami, dan menyesuaikan diri.
Namun, menyesuaikan diri bukan berarti mengikuti arus tanpa arah.
Kita harus tahu batasan nilai yang tidak bisa ditawar.
b. Menjaga Warna Asli Diri
Bunglon bisa berubah warna, tapi tetaplah bunglon.
Begitu juga manusia — kita boleh berpakaian berbeda, berbicara sesuai konteks, atau bersikap lembut saat perlu, tapi jati diri kita tetap sama.
Orang yang kehilangan warna aslinya akan mudah diombang-ambingkan oleh situasi.
Namun orang yang tahu siapa dirinya akan tetap kuat meski lingkungannya terus berubah.
c. Mengubah Diri Demi Kebaikan, Bukan Demi Pujian
Perubahan yang sejati berasal dari keinginan untuk menjadi lebih baik, bukan untuk dipuji atau diterima orang lain.
Jika kita berubah hanya agar disukai, maka kita sedang menipu diri sendiri.
Tapi jika kita berubah agar hidup lebih bermanfaat, maka perubahan itu bernilai.
6. Nasehat Kehidupan: Jadilah Bunglon yang Bijak
Bunglon tidak pernah membanggakan kemampuannya. Ia tidak sombong karena bisa berubah warna. Ia hanya melakukannya agar bisa bertahan dan hidup damai.
Begitu pula kita. Dalam hidup, kadang kita perlu menyesuaikan diri agar tidak bentrok dengan orang lain.
Namun, penyesuaian itu harus didasari kebijaksanaan, bukan kepura-puraan.
Menjadi orang yang adaptif adalah tanda kecerdasan emosional.
Kita tahu kapan harus bicara dan kapan diam, kapan tegas dan kapan lembut, kapan menolak dan kapan menerima.
Kita tidak selalu harus menjadi pusat perhatian — kadang, diam pun bisa menjadi bentuk kekuatan.
Orang yang seperti bunglon dalam arti positif tahu cara menjaga harmoni dengan lingkungan tanpa kehilangan identitasnya.
Mereka mampu hidup di banyak situasi karena punya kemampuan sosial dan spiritual yang matang.
7. Bahaya Menjadi “Bunglon Palsu”
Namun berhati-hatilah, tidak semua orang yang pandai menyesuaikan diri itu tulus.
Sebagian orang menggunakan kemampuan beradaptasi untuk memanipulasi.
Mereka meniru gaya bicara, sikap, bahkan kepribadian orang lain hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Itulah yang disebut bunglon palsu.
Mereka terlihat ramah, tapi hatinya licik.
Terlihat mendukung, tapi diam-diam menjatuhkan.
Orang seperti ini cepat naik, tapi juga cepat jatuh — karena hidupnya tidak berlandaskan kejujuran.
Sementara orang yang benar-benar bijak dalam menyesuaikan diri selalu menyertakan ketulusan dan integritas.
Ia mungkin tidak selalu disukai semua orang, tapi selalu dihormati karena kejujurannya.
8. Bagaimana Menjadi Pribadi yang Adaptif dan Autentik
Berikut beberapa cara agar kita bisa meniru sifat baik “bunglon” tanpa kehilangan jati diri:
-
Kenali nilai inti dalam diri.
Tulis apa yang kamu yakini sebagai prinsip hidup, seperti kejujuran, disiplin, atau rasa hormat.
-
Latih kemampuan mendengar.
Orang yang adaptif lebih banyak mendengar sebelum bereaksi. Dengan begitu, kita tahu bagaimana harus menyesuaikan diri.
-
Belajar dari lingkungan tanpa kehilangan arah.
Serap hal baik dari sekitar, tapi saring sebelum diterapkan.
-
Tetap tenang dalam situasi sulit.
Bunglon berubah warna saat terancam — bukan untuk panik, tapi untuk bertahan. Kita pun harus belajar tenang dalam tekanan.
-
Gunakan perubahan untuk bertumbuh.
Jangan takut berubah jika perubahan itu membawa kebaikan. Tapi pastikan perubahan itu berasal dari kesadaran, bukan tekanan.
9. Dunia Butuh Lebih Banyak “Bunglon Bijak”
Bayangkan dunia di mana setiap orang bisa menyesuaikan diri dengan bijak — menghormati perbedaan, tidak mudah tersinggung, dan mampu bekerja sama meski berbeda pandangan.
Dunia seperti itu akan lebih damai, produktif, dan manusiawi.
“Bunglon bijak” bukan orang yang licik, melainkan orang yang menghargai keberagaman.
Ia bisa berbicara dengan siapa pun tanpa merasa lebih tinggi atau lebih rendah.
Ia tahu bahwa setiap warna kehidupan punya keindahan tersendiri, dan perubahan bukanlah ancaman — melainkan kesempatan untuk tumbuh.
10. Penutup: Jadilah Bunglon, Tapi Jangan Kehilangan Warna Aslimu
Ungkapan “orang kami seperti bunglon” seharusnya tidak selalu diartikan negatif.
Jika kita memahami maknanya dengan hati yang jernih, bunglon justru memberi pelajaran berharga:
Menyesuaikan diri adalah tanda kebijaksanaan, bukan kepura-puraan.
Namun, seperti bunglon yang tetap mempertahankan bentuk tubuhnya, kita pun harus tetap mempertahankan jati diri.
Kita boleh berubah warna agar selamat, tapi jangan sampai kehilangan warna sejati yang ada di dalam hati — warna yang berasal dari kejujuran, kasih, dan prinsip hidup.
Karena pada akhirnya, dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang yang pandai berpura-pura, tetapi orang yang tulus dan fleksibel — yang bisa menyesuaikan diri tanpa kehilangan arah.
Pesan akhir:
“Berubahlah seperti bunglon yang cerdas — bukan agar disukai semua orang, tapi agar tetap hidup damai di setiap tempat.
Namun, jangan pernah ubah hatimu. Karena di sanalah warna sejati manusia sesungguhnya.”