Jalan Pulang yang Sesungguhnya

Waktu terus berputar. Tahun-tahun berganti. Jalan pulang yang dulu kurindukan kini benar-benar menjadi rumahku. Aku bukan lagi pria yang sibuk mengejar gemerlap dunia, bukan lagi anak nakal yang membuat ibunya menangis. Aku hanyalah seorang hamba biasa yang sedang belajar mencintai Tuhannya dengan sederhana.

Aku membuka toko kecil di dekat masjid. Bukan usaha besar, tapi cukup untuk menafkahi ibu dan hidup sederhana. Setiap Subuh, aku buka toko setelah shalat berjamaah, dan menutupnya menjelang Magrib. Hidupku teratur, jauh dari hiruk-pikuk dunia malam yang dulu kuanggap segalanya.

Namun, meski telah banyak berubah, ada satu hal yang tetap ada dalam hatiku: rasa takut. Takut kalau-kalau aku kembali tergelincir. Takut kalau Allah tak benar-benar mengampuni dosaku. Dan takut kalau ajal menjemputku sebelum aku siap.

Rasa takut itu tak jarang membuatku gelisah, tapi di sisi lain juga membuatku tetap waspada. Ustadz di masjid sering berkata, “Rasa takut dan harap harus seimbang. Takut membuat kita tidak berani bermaksiat, harap membuat kita tidak putus asa dari rahmat Allah.”

Aku mencoba menanamkan itu dalam diriku. Setiap kali rasa takut terlalu mendominasi, aku membaca ayat tentang rahmat Allah. Dan setiap kali rasa harap membuatku lengah, aku mengingat ayat tentang azab-Nya.



Sampai suatu hari, sebuah kabar datang yang mengguncang hatiku.

Aku baru saja selesai menutup toko ketika seorang tetangga datang tergopoh.
“Bang, cepat! Ibumu jatuh pingsan di rumah!”

Aku berlari sekuat tenaga. Dadaku berdegup kencang. Sesampainya di rumah, kulihat ibu terbaring lemah di kasur, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Aku panik, langsung membawanya ke rumah sakit.

Di ruang UGD, aku menunggu dengan gelisah. Dokter keluar dengan wajah serius.
“Beliau kena serangan jantung. Kami akan berusaha semaksimal mungkin.”

Aku tertegun. Air mataku tumpah. Sepanjang malam aku duduk di samping ranjang ibu, menggenggam tangannya yang dingin. Mulutku tak henti berdoa.
“Ya Allah, jangan ambil ibu sekarang. Aku masih ingin membahagiakannya. Aku masih banyak salah padanya.”

Tapi pagi menjelang, ibu membuka mata dengan senyum lemah.
“Nak, jangan menangis. Ibu sudah tua. Kalau Allah panggil, itu bukan kabar buruk. Justru kabar gembira kalau kita bisa pulang dengan husnul khatimah.”

Aku menangis tersedu-sedu, menempelkan wajah di tangannya.
“Bu, aku belum cukup jadi anak baik. Aku baru sedikit berubah. Aku takut kehilang—”
“Shhh...” ibu menepuk kepalaku. “Kamu sudah jadi anak yang ibu doakan sejak dulu. Jangan takut kehilangan ibu. Takutlah kehilangan Allah.”

Kata-kata itu menghunjam ke dalam hatiku.

Beberapa hari kemudian, kondisi ibu membaik. Kami pulang ke rumah dengan rasa syukur. Tapi sejak itu, aku semakin sadar: hidup ini sebentar. Jalan pulang bukan hanya tentang taubat, tapi juga tentang bersiap menghadapi kematian.

Aku pun semakin rajin mempersiapkan bekal akhirat. Mengisi hari dengan kebaikan kecil: membantu tetangga, menyantuni anak yatim, membersihkan masjid. Bukan karena ingin dianggap baik, tapi karena aku sadar, bisa jadi itu adalah amal terakhirku.

Hingga suatu malam, aku bermimpi lagi. Kali ini bukan Arman yang datang, melainkan cahaya putih yang menenangkan. Dalam cahaya itu, aku mendengar suara yang lembut:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai.” (QS. Al-Fajr: 27-28)

Aku terbangun dengan air mata. Rasa takut, harap, dan rindu bercampur menjadi satu. Mungkin itu hanya mimpi, tapi rasanya nyata. Seolah Allah sedang menegurku sekaligus menenangkan.

Sejak malam itu, aku berhenti mengkhawatirkan masa lalu. Semua dosa sudah kuserahkan pada Allah. Tugas utamaku kini adalah menjaga langkah hingga akhir. Aku ingin jalan pulangku benar-benar sampai pada tujuan: Allah yang Maha Pengampun.

Dan aku yakin, selama aku terus menjaga rindu itu, aku tak akan lagi tersesat. Karena rindu yang sejati bukan pada dunia, bukan pada manusia, melainkan pada pertemuan dengan Allah.

Epilog

Kini aku duduk di teras rumah kecil, memandang langit senja. Cahaya oranye merambat di cakrawala. Burung-burung pulang ke sarang, dan aku pun merasakan hal yang sama: pulang.

Bukan pulang ke rumah, bukan pulang ke masa lalu, tapi pulang ke fitrahku sebagai hamba. Jalan panjang penuh luka, penuh jatuh bangun, akhirnya membawaku ke sini.

Aku tersenyum, memejamkan mata, dan berbisik lirih:

“Ya Allah, aku tak lagi rindu dunia. Aku hanya rindu jalan pulang, jalan menuju-Mu. Jangan biarkan aku tersesat lagi. Jika Engkau memanggilku hari ini, biarlah aku pulang dengan cahaya di hati. Amin.”

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis