Ramadan telah usai, tapi bekasnya masih tertinggal dalam hatiku. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang selama ini kucari namun tak pernah kutemukan dalam hura-hura dunia: ketenangan.
Namun, perjalanan tak lantas menjadi mudah. Ujian demi ujian datang silih berganti, seolah Allah ingin menguji ketulusan taubatku.
Hatiku berdebar. Tawaran itu menggiurkan. Aku tahu betul, bisnis yang mereka tawarkan sarat kecurangan, uang haram yang cepat mengalir. Dulu, aku pasti langsung setuju. Tapi kini aku ragu.
Malam itu aku gelisah, bolak-balik di tempat tidur. Bayangan rumah kecil untuk ibu, motor baru, hidup nyaman—semua menari di kepala. Tapi setiap kali aku hampir memutuskan, ada suara halus di hatiku: “Apakah ini jalan pulang, atau jalan sesat yang sama?”
Keesokan harinya, aku menolak tawaran itu. Teman-teman lama menertawakan, menganggap aku sok alim. Tapi anehnya, aku merasa lega. Seperti baru saja melewati persimpangan, dan untuk pertama kali aku memilih jalan yang benar.
Aku tertegun, mataku berkaca-kaca. Siapa aku, seorang pendosa, bisa jadi sebab hidayah untuk orang lain? Saat itu aku sadar, Allah benar-benar Maha Penyayang. Ia bukan hanya memberiku jalan pulang, tapi juga menjadikanku bagian dari jalan pulang orang lain.
Air mata mengalir deras. Tapi tangisan itu bukan lagi karena luka, melainkan karena cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada sahabatku, cinta kepada jalan pulang yang kini kutemukan.
Malam itu, aku merasa seakan cahaya turun menyelimuti. Bukan cahaya yang kasat mata, tapi cahaya iman yang menenangkan jiwa. Untuk pertama kalinya, aku tidak lagi merasa asing dengan diriku sendiri. Aku merasa pulang.