Cahaya di Ujung Jalan

Ramadan telah usai, tapi bekasnya masih tertinggal dalam hatiku. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang selama ini kucari namun tak pernah kutemukan dalam hura-hura dunia: ketenangan.

Namun, perjalanan tak lantas menjadi mudah. Ujian demi ujian datang silih berganti, seolah Allah ingin menguji ketulusan taubatku.

Suatu sore, aku menerima telepon dari teman lama.
“Bro, kabar gila! Kita dapat tawaran kerja sama besar. Duitnya gede, tinggal tanda tangan, urusan gampang. Lu ikut nggak?”

Hatiku berdebar. Tawaran itu menggiurkan. Aku tahu betul, bisnis yang mereka tawarkan sarat kecurangan, uang haram yang cepat mengalir. Dulu, aku pasti langsung setuju. Tapi kini aku ragu.

Malam itu aku gelisah, bolak-balik di tempat tidur. Bayangan rumah kecil untuk ibu, motor baru, hidup nyaman—semua menari di kepala. Tapi setiap kali aku hampir memutuskan, ada suara halus di hatiku: “Apakah ini jalan pulang, atau jalan sesat yang sama?”

Akhirnya aku berwudhu, shalat istikharah dengan air mata. Dalam doa panjang, aku hanya berkata:
“Ya Allah, tunjukkan mana yang benar. Aku takut salah lagi. Aku tak ingin jauh lagi dari-Mu.”

Keesokan harinya, aku menolak tawaran itu. Teman-teman lama menertawakan, menganggap aku sok alim. Tapi anehnya, aku merasa lega. Seperti baru saja melewati persimpangan, dan untuk pertama kali aku memilih jalan yang benar.

Hari-hari berikutnya, aku semakin rajin mendekatkan diri kepada Allah. Aku mulai berani mengisi kajian kecil di masjid, hanya sekadar berbagi kisah perjalanan hidupku. Awalnya aku malu, merasa hina menceritakan aib masa lalu. Tapi ustadz di masjid menasihatiku:
“Jangan takut bercerita, selama niatmu untuk mengingatkan. Bisa jadi, dengan kisahmu, ada orang lain yang terselamatkan.”


Dan benar. Suatu malam, setelah aku berbicara di depan jamaah muda, seorang anak menghampiriku.
“Bang, aku hampir terjerumus narkoba. Tapi dengar cerita abang, aku jadi takut. Aku mau coba berubah.”

Aku tertegun, mataku berkaca-kaca. Siapa aku, seorang pendosa, bisa jadi sebab hidayah untuk orang lain? Saat itu aku sadar, Allah benar-benar Maha Penyayang. Ia bukan hanya memberiku jalan pulang, tapi juga menjadikanku bagian dari jalan pulang orang lain.

Puncak perjalanan itu datang pada suatu malam Jumat. Seusai shalat tahajud, aku duduk memandang langit. Bintang bertaburan, angin malam sejuk, dan hatiku terasa lapang.
“Ya Allah,” bisikku lirih, “aku dulu tersesat jauh. Tapi Engkau tetap menungguku. Kini aku tak punya apa-apa, selain rindu untuk terus dekat dengan-Mu.”

Tiba-tiba aku teringat Arman. Sosok sahabat yang dulu menemaniku di jalan gelap. Hatiku sesak, tapi kali ini bukan dengan penyesalan, melainkan doa.
“Ya Allah, ampuni sahabatku. Jika dosanya menggunung, hapuskan dengan rahmat-Mu. Jangan biarkan ia sendirian di kuburnya. Terimalah ia dalam kasih-Mu.”

Air mata mengalir deras. Tapi tangisan itu bukan lagi karena luka, melainkan karena cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada sahabatku, cinta kepada jalan pulang yang kini kutemukan.

Malam itu, aku merasa seakan cahaya turun menyelimuti. Bukan cahaya yang kasat mata, tapi cahaya iman yang menenangkan jiwa. Untuk pertama kalinya, aku tidak lagi merasa asing dengan diriku sendiri. Aku merasa pulang.

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis