Denganku Kau Bercinta, Dengan Dia Kau Menikah

Denganku Kau Bercinta, Dengan Dia Kau Menikah

Prolog

Aku sering bertanya pada diriku sendiri: apakah cinta memang selalu sesederhana memilih siapa yang kau nikahi? Jika jawabannya iya, maka mengapa aku masih merasakan tubuhmu di pelukanku, bisikanmu di telingaku, dan hangat cintamu yang pernah kau janjikan padaku?

Karena faktanya, denganku kau bercinta.
Tapi dengan dia… kau menikah.


---

Bab I – Malam yang Mengikat

Malam itu, bulan purnama menggantung penuh, menyinari jalan setapak menuju pantai. Hanya ada aku dan kau, duduk di atas pasir yang dingin, berbagi tawa kecil.

“Aku takut kehilanganmu,” katamu lirih.
Aku menatap wajahmu, cahaya rembulan membuat sorot matamu semakin teduh. “Aku tak akan pergi, aku janji.”

Kau tersenyum, lalu menarikku dalam dekap yang lama. Dalam pelukan itu, aku merasakan sebuah janji diam-diam yang tak terucap: kita milik satu sama lain.

Malam itu, kau menyerahkan seluruh dirimu padaku. Kita bercinta bukan hanya dengan tubuh, tapi juga dengan jiwa. Aku percaya, cinta kita sudah menemukan rumahnya.

Aku tak pernah membayangkan bahwa malam penuh bintang itu hanyalah awal dari luka panjang yang akan kutanggung seorang diri.


---

Bab II – Kabar yang Menghancurkan

Hari-hari berlalu dengan manis. Pesan singkat darimu setiap pagi, telepon larut malam, dan rindu yang selalu terasa hangat. Aku merasa kita hanya menunggu waktu untuk benar-benar menyatukan hidup.

Namun suatu sore, suaramu terdengar asing di ujung telepon.
“Ada yang harus aku katakan,” suaramu bergetar.
“Apa?” tanyaku cemas.
“Aku… aku akan menikah.”

Jantungku serasa berhenti berdetak. “Menikah? Dengan siapa?”
“Dengan dia. Orang yang dipilih keluargaku. Aku tidak bisa menolak.”

Hening. Aku ingin berteriak, ingin memaki, tapi lidahku kelu. Dalam hatiku hanya ada satu kalimat: Bagaimana mungkin?

Kau menutup percakapan dengan suara bergetar, “Maafkan aku. Aku mencintaimu, tapi aku tak berdaya.”

Telepon terputus. Dan aku terjatuh dalam jurang yang tak berdasar.


---

Bab III – Luka yang Tak Sembuh

Hari-hari setelah kabar itu adalah neraka bagiku. Aku melihatmu tetap mengirim pesan, masih menulis “aku rindu” dengan kalimat-kalimat manis, seakan tak ada yang berubah.

Aku ingin bertanya: jika kau benar-benar mencintaiku, mengapa kau sanggup menikah dengan orang lain?
Tapi aku takut jawabanmu hanya akan lebih menyakitkan.

Konflik dalam diriku semakin membesar. Setiap kali kita bertemu diam-diam, kau masih menggenggam tanganku, masih mencium keningku, seakan-akan kita tidak sedang menunggu hari di mana kau akan mengucap janji suci dengan orang lain.

“Kenapa harus dia?” tanyaku suatu malam.
Kau menunduk, menggenggam jemariku erat. “Aku tidak punya pilihan. Keluargaku sudah menentukan. Aku anak pertama, aku harus menjaga nama baik mereka. Aku mencintaimu, tapi aku juga terikat oleh mereka.”

Air mataku jatuh. “Kalau begitu, cintamu padaku hanyalah mimpi.”
“Tidak,” katamu cepat. “Cintaku padamu nyata. Percayalah.”

Nyata? Bagaimana bisa sesuatu yang nyata tak berujung pada kebersamaan?


---

Bab IV – Hari Pernikahan

Hari itu datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Aku berdiri di kejauhan, menyembunyikan diriku di antara keramaian tamu undangan. Aku tak diundang, tentu saja, tapi hatiku memaksa untuk melihat.

Kau berdiri anggun dengan jas hitam, wajahmu berseri. Dia, perempuan yang kini sah menjadi istrimu, tersenyum bahagia.

Aku menahan napas ketika kau mengucap janji. Kata-kata yang seharusnya keluar untukku, kini kau berikan pada orang lain.

Aku ingin berlari, menghentikan semua itu, berteriak di depan semua orang, “Dia mencintaiku, bukan kau!” Tapi kakiku kaku, lidahku terkunci. Aku hanya bisa menonton, membiarkan hatiku dihancurkan dengan cara paling anggun: melalui senyum bahagia yang tak kuterima.

Malam itu, aku pulang dengan dada sesak. Dan aku tahu, hidupku tak akan sama lagi.


---

Bab V – Pertemuan Rahasia

Pernikahanmu tak menghapusku. Kau masih mencariku.
Kita bertemu diam-diam, di kafe kecil, di ruang gelap yang hanya kita berdua tahu.

“Kau bahagia dengannya?” tanyaku sekali waktu.
Kau terdiam lama, lalu menjawab pelan, “Aku bahagia… tapi hanya di mata orang lain. Dalam hatiku, aku hampa tanpa dirimu.”

Aku menggenggam cangkir kopi, menahan getar tanganku. “Kalau begitu, mengapa kau tetap memilihnya?”
“Karena menikah bukan hanya tentang cinta. Ada keluarga, ada tanggung jawab, ada masa depan yang harus kujaga.”

Kalimatmu menusukku lebih dalam daripada pisau. Aku sadar, aku hanyalah cinta yang kau sembunyikan di balik layar.

Aku benci diriku sendiri, karena meski tahu semuanya salah, aku masih mencintaimu.


---

Bab VI – Konflik yang Membakar

Semakin lama, hubungan rahasia ini menjadi beban. Aku merasa bersalah, kau pun gelisah. Dia, istrimu, tentu tak pernah tahu bahwa ada aku di antara bayangan cintamu.

“Lepaskan aku,” kataku suatu malam dengan suara pecah. “Kita hanya akan saling menyakiti.”
“Aku tak bisa,” jawabmu cepat. “Aku butuh kau. Kau bagian dari hidupku.”
“Tapi kau sudah menikah! Kau milik dia sekarang.”
“Aku milikmu juga.”

Aku menangis sejadi-jadinya. Kata-katamu indah sekaligus kejam. Kau ingin memiliki dua dunia, sementara aku terjebak di dalam neraka yang tak ada pintunya.


---

Bab VII – Melepaskan

Waktu berjalan, tapi luka ini tak kunjung sembuh. Hingga suatu hari aku menatap cermin dan melihat seorang perempuan rapuh, yang membuang hidupnya hanya untuk cinta yang tak mungkin dimiliki.

Aku sadar, aku harus berhenti. Aku harus merelakanmu sepenuhnya, meski itu berarti membiarkan jantungku berdarah selamanya.

Aku menulis pesan terakhir untukmu:
"Terima kasih atas cinta yang pernah ada. Aku tak akan melawan takdirmu. Bahagialah bersama dia, meski denganku kau pernah bercinta. Mulai hari ini, aku memilih sembuh, meski tanpa dirimu."

Aku menekan tombol kirim, lalu mematikan ponselku.

Air mataku jatuh, tapi di baliknya ada sedikit rasa lega.
Mungkin cinta sejati bukan selalu tentang memiliki, melainkan tentang keberanian untuk melepaskan.


---

Epilog

Kini aku belajar hidup dengan luka yang tak akan hilang. Setiap kali aku melihat pasangan berjalan berdua, aku teringat padamu. Setiap kali aku mendengar musik cinta, wajahmu hadir di kepalaku.

Tapi aku juga tahu, waktu akan menyembuhkan. Dan suatu hari nanti, aku akan benar-benar merelakanmu.

Denganku kau pernah bercinta.
Dengan dia kau menikah.
Dan aku… akan belajar mencintai diriku sendiri, meski tanpa dirimu.
Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis