Gelisah dalam Cahaya

Hidupku perlahan berubah. Aku mulai mengenal kembali apa itu shalat, apa itu doa, apa itu ketenangan hati. Ada rasa damai yang aneh setiap kali aku menempelkan kening di sajadah. Seolah seluruh kegelisahan dunia ini larut bersama air mata dalam sujud.

Namun, perubahan tidak pernah mudah. Jalan pulang tidak selalu lurus. Ada tikungan tajam, ada lubang dalam, ada tarikan kuat yang mencoba menggiringku kembali ke jurang lama.

Awalnya, aku mencoba menghindari teman-teman lama. Aku berhenti datang ke pesta, berhenti minum, berhenti duduk di bar sampai larut malam. Tapi dunia lama itu tak mudah melepaskanku. Telepon dan pesan terus berdatangan.

“Bro, lama nggak nongkrong. Malam ini kita party, semua anak kumpul!”
“Lu nggak berubah kan? Ayolah, sekali ini aja. Hidup cuma sekali, nikmati dong.”

Aku membaca pesan-pesan itu dengan tangan bergetar. Ada dua suara dalam hatiku: satu berkata “Tolak, kau sedang berusaha jadi lebih baik,” tapi suara lain berbisik “Sekali saja, tak ada yang tahu, kau masih bisa kembali setelah itu.”



Aku pun terjatuh lagi. Suatu malam aku kembali ke bar, hanya untuk duduk sebentar. Musik keras, lampu berkelap-kelip, tawa teman-teman, semua terasa akrab. Gelas demi gelas ditawarkan padaku. Aku menolak di awal, tapi akhirnya, setengah terpaksa, aku meneguk satu.

Detik itu juga, hatiku menjerit. Minuman itu terasa pahit, bukan lagi manis seperti dulu. Aku ingin melarikan diri. Aku merasa diawasi, bukan oleh manusia, tapi oleh Allah. Seolah suara azan yang pernah kurindukan kini menggema di kepalaku.

Aku berlari keluar, meninggalkan semua. Nafasku tersengal, dada berdegup keras. Di jalan yang sepi, aku menangis.
“Ya Allah, aku lemah. Aku ingin kembali kepada-Mu, tapi nafsuku menyeretku lagi. Tolong jangan lepaskan aku.”

Keesokan harinya, aku menemui Fikri. Ia mendengarkan ceritaku tanpa menghakimi, hanya menghela napas panjang.
“Perjalanan pulang memang berat,” katanya. “Syaitan tidak rela kehilanganmu. Semakin kau berusaha dekat dengan Allah, semakin keras godaan itu datang.”

Aku menunduk, merasa hina. “Lalu bagaimana aku bisa kuat?”
Fikri menatapku, senyumnya hangat. “Jangan berjalan sendirian. Dekatlah dengan orang-orang yang juga mencari Allah. Kita manusia lemah, tapi bersama kita bisa saling mengingatkan.”

Saran itu menusuk tepat di hatiku. Aku sadar, selama ini aku mencoba berubah sendirian. Aku malu bergabung dengan majelis ilmu, merasa terlalu kotor, terlalu penuh dosa. Tapi justru itu yang membuatku mudah goyah.

Beberapa hari kemudian, dengan hati gemetar, aku memberanikan diri ikut kajian di masjid dekat apartemen. Aku duduk di pojok, menunduk, takut terlihat. Tapi ketika ustadz mulai berbicara tentang taubat, hatiku runtuh.

“Taubat bukan hanya untuk orang yang belum pernah salah. Taubat adalah pintu yang selalu terbuka, selama kita mau kembali. Allah berfirman, ‘Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar: 53)

Aku menangis. Kata-kata itu seakan ditujukan langsung kepadaku. Selama ini aku merasa sudah terlalu rusak untuk diampuni. Tapi ternyata, Allah masih memanggilku: “Jangan putus asa.”

Sejak itu, aku semakin giat belajar. Aku tak langsung menjadi orang suci, tapi setidaknya aku tahu arah. Setiap kali tergoda untuk kembali ke dunia lama, aku ingat wajah Arman di liang lahat. Setiap kali hatiku lemah, aku ingat doa ibu yang tak pernah putus.

Namun, gelisah itu tetap ada. Kadang aku merasa bahagia dalam ibadah, tapi kadang pula aku rindu gemerlap palsu yang dulu kukenal. Ada tarik menarik yang membuatku letih. Aku sadar, ini adalah jihad terbesar: melawan diriku sendiri.

Suatu malam, setelah shalat Isya, aku duduk lama di sajadah. Lampu kamar kupadamkan, hanya cahaya rembulan yang masuk dari jendela.
“Ya Allah, aku rindu pada-Mu. Tapi aku takut Engkau tak merindukanku. Aku ingin pulang, tapi aku takut pintu-Mu sudah tertutup.”

Air mata kembali jatuh. Namun kali ini, di sela tangis, ada sedikit rasa tenang. Mungkin benar kata ustadz itu: pintu taubat selalu terbuka. Yang kutakuti bukan Allah menolak, tapi aku sendiri yang berhenti mengetuk.

Sejak malam itu, aku berjanji pada diriku: meski jatuh, aku akan bangkit lagi. Meski terseret, aku akan kembali lagi. Karena rindu pada jalan pulang ini terlalu besar untuk kuhianati.

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis