Pertemuan dengan Hidayah

Hari itu aku duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota, ditemani sahabat lamaku, Fikri. Ia berbeda dari teman-teman lain—tenang, sederhana, dan selalu menjaga shalat. Aku mengenalnya sejak kuliah, tapi setelah aku larut dalam dunia malam, jarang sekali kami bertemu. Anehnya, meski aku jauh, Fikri tak pernah benar-benar pergi. Sesekali ia masih menghubungi, menanyakan kabar dengan bahasa lembut yang tak menghakimi.

“Bagaimana bisnismu sekarang?” tanyanya, sambil menyeruput kopi hitam.
“Alhamdulillah, lancar,” jawabku datar.
Aku hampir saja menambahkan kalimat sombong, ‘uangku tidak habis-habis’, tapi entah kenapa lidahku kelu di hadapannya.

Fikri menatapku lama, lalu berkata pelan, “Aku ikut bahagia. Tapi, bagaimana kabar hatimu?”

Pertanyaan itu menghantam lebih keras daripada teguran mana pun. Aku tercekat, pura-pura sibuk memainkan sendok. “Hati? Apa maksudmu?”
“Ya, hatimu. Kau bahagia, kan?”

Aku tersenyum hambar. “Tentu. Lihat hidupku sekarang.”
Fikri hanya menatap, tidak membantah, tidak juga membenarkan. Senyumannya tipis, tapi matanya seakan tahu sesuatu yang tak bisa kututupi.


Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Seorang teman dekat kami semasa kuliah, Arman, meninggal dunia karena kecelakaan. Usianya baru 32 tahun, tak jauh beda denganku.

Aku datang ke pemakaman, berdiri di antara kerumunan orang. Saat jenazahnya diturunkan ke liang lahat, tubuhku bergetar hebat. Udara seolah menolak masuk ke paru-paru. Aku melihat tanah menutupi wajah yang dulu penuh tawa. “Inilah akhirnya? Sesederhana ini manusia kembali ke bumi?”

Ketika semua orang menaburkan bunga, aku terduduk lemas. Rasa takut menelanku bulat-bulat. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku menyadari: kematian bisa datang kapan saja, tanpa izin.

Di perjalanan pulang, Fikri yang duduk di sampingku berkata lirih, “Kau lihat, kita semua pasti kembali. Cepat atau lambat, tak ada yang bisa lari.”
Aku menunduk. Kata-katanya menusuk, tapi tak ada bantahan yang bisa kuucapkan.

Malam itu aku tak bisa tidur. Bayangan wajah Arman, liang lahat, dan suara talqin terus bergema di telinga. Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku sadar, jika aku yang mati malam ini, bagaimana aku akan menghadap Allah? Dengan shalat yang sering kutinggalkan? Dengan malam-malam mabuk? Dengan hati yang jauh dari-Nya?

Pukul tiga dini hari, aku terbangun dengan dada sesak. Entah dorongan apa yang menyeretku, aku mengambil wudhu. Air dingin itu menyentuh wajahku, seakan membersihkan bukan hanya debu, tapi juga noda dalam hati.

Aku bentangkan sajadah yang sudah lama terlipat. Tubuhku gemetar ketika takbir terucap. Malam itu, aku kembali sujud setelah bertahun-tahun. Air mata mengalir deras, membasahi sajadah.

“Ya Allah… aku kotor, aku hina. Aku sudah lama meninggalkan-Mu. Tapi jangan biarkan aku mati dalam keadaan seperti ini. Aku ingin pulang, aku rindu pada-Mu.”

Sujud itu panjang. Aku tak ingat doa apa yang kuucapkan. Hanya tangisan yang keluar, bercampur dengan kata-kata yang berantakan. Tapi hatiku terasa lega, seolah ada pintu yang terbuka kembali.

Sejak malam itu, langkah kecilku dimulai. Aku mencoba shalat lima waktu, meski sering masih terlambat. Aku mulai membaca Al-Qur’an, meski lidahku terbata. Aku mendengarkan ceramah-ceramah singkat, dan sesekali berbincang dengan Fikri tentang agama.

Namun, jalan pulang tidaklah mudah. Dunia lamaku masih menarikku kembali. Pesta, harta, dan kesenangan sesaat terus menggodaku. Ada saat-saat aku hampir menyerah, merasa aku terlalu banyak dosa untuk diterima Allah.

Tapi di setiap kegelisahan itu, aku selalu teringat wajah Arman di liang lahat. Dan setiap kali aku ingin kembali jauh, doa ibu yang dulu pernah kudengar bergema di kepalaku:
“Ya Allah, jangan palingkan hati anakku dari jalan-Mu.”

Doa itu menjadi cahaya kecil yang terus menuntunku.

Aku mulai mengerti: mungkin inilah yang disebut hidayah. Ia datang tak terduga, mengetuk lembut, tapi juga mengguncang seluruh jiwa.

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis