Rindu Jalan Pulang

Langkah kakiku terdengar kosong di malam yang lengang. Jalanan kota begitu riuh oleh lampu, tapi hatiku terasa gelap. Aku berjalan sendirian, dikelilingi gedung-gedung tinggi, namun jiwaku sepi seakan dunia telah meninggalkanku.

Orang-orang melihatku sebagai sosok yang “berhasil”. Karierku mapan, uang mengalir deras, gaya hidupku bebas tanpa aturan. Aku bisa membeli apa pun yang kuinginkan. Mobil mewah terparkir di garasi, apartemen megah berdiri tegak, pakaian bermerek memenuhi lemari. Semua itu membuatku tampak bersinar di mata manusia. Tapi hanya aku yang tahu: jauh di dalam dada, ada kekosongan yang tak pernah bisa kuisi.

Di tengah gelap malam, aku teringat sesuatu yang sudah lama kulupakan—doa ibuku.
"Ya Allah, jagalah anakku. Meski ia jauh dari-Mu, tolong jangan palingkan hati-Nya dari jalan pulang."

Doa itu sering kudengar saat aku kecil, sebelum tidur, ketika ibu membelai rambutku dengan lembut. Aku akan berpura-pura tertidur, padahal diam-diam aku mendengarkan. Tapi seiring waktu, doa itu hilang bersama kesibukan dan kelalaian yang kutanam sendiri.

Kini, doa itu kembali berdengung di kepalaku. Rindu aneh menyeruak. Rindu yang bukan pada manusia, bukan pada rumah, bukan pada kenangan. Rindu itu berbisik: “Pulanglah. Hatimu lelah, kembalilah pada Tuhanmu.”

Aku berhenti di tepi jalan, menengadah. Langit begitu luas, bintang-bintang bertebaran. Entah mengapa, dadaku sesak. Aku ingin menangis, tapi air mata seperti malu keluar. Aku hanya bisa terdiam, menahan gelombang rasa yang asing namun hangat.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berbisik lirih, nyaris tak terdengar:
“Ya Allah… apakah Engkau masih mau menerimaku kembali?”

Bisikan itu pecah dalam hati yang retak. Dan sejak malam itu, perjalanan panjangku dimulai—perjalanan rindu untuk menemukan jalan pulang.

Jalan yang Menyesatkan

Hidupku seperti kereta cepat tanpa rem. Semuanya berlari begitu kencang, sementara aku hanya terbawa arus tanpa pernah sempat bertanya: “Ke mana aku akan sampai?”

Setelah lulus kuliah, aku terjun ke dunia bisnis. Uang pertama yang kuterima membuatku mabuk kemenangan. Dari satu usaha kecil, aku melompat ke peluang lain, dan rezeki seakan begitu mudah menjemput. Lalu perlahan, hatiku pun terikat pada dunia.

Awalnya, aku hanya ingin hidup nyaman. Tapi nafsu tak pernah puas. Mobil biasa terasa kurang, aku membeli mobil sport. Apartemen sederhana terasa sempit, aku pindah ke hunian mewah. Pakaian bermerek, jam tangan mahal, pesta di klub malam, semuanya menjadi bagian dari keseharianku.

Aku mulai jarang pulang kampung. Ibu sering menelepon, tapi panggilannya sering kuabaikan. Kalau pun kujawab, hanya dengan jawaban singkat, “Iya, Bu, aku sibuk.” Aku tidak tahu, di balik ujung telepon itu, ibu menahan rindu yang menyesakkan dada.

Suatu hari, ibu pernah berkata lembut, “Nak, jangan tinggalkan shalat.”
Aku menjawab dengan tergesa, “Iya, Bu, nanti.”
Tapi “nanti” itu tak pernah tiba.

Shalat bagiku hanyalah kewajiban masa kecil yang dulu diajarkan. Setelah dewasa, aku lebih sibuk dengan urusan dunia. Aku merasa masih muda, masih kuat, masih panjang umur. Aku lupa bahwa kematian tidak menunggu usia.

Lingkungan pergaulanku juga menyeretku semakin jauh. Aku punya teman-teman yang gemar berpesta, minum hingga mabuk, tertawa tanpa henti hingga lupa waktu. Aku mengikuti mereka karena aku takut dianggap ketinggalan. Malam-malamku habis di ruang gemerlap, sementara subuh hanya lewat tanpa pernah kusapa.

Terkadang, ketika aku sendirian, muncul rasa sepi yang menusuk. Aku mencoba menutupinya dengan musik keras, tawa palsu, atau pelukan hangat dari perempuan-perempuan yang hanya singgah sebentar. Tapi setelah semuanya usai, hampa itu kembali—bahkan semakin besar.

Aku teringat sekali, suatu malam aku pulang dalam keadaan mabuk. Di ruang tamu apartemenku, aku melihat mushaf Al-Qur’an kecil yang dulu ibu berikan. Sampulnya sudah berdebu. Aku mengambilnya, membuka acak, dan mataku jatuh pada satu ayat:

“Ketahuilah, sesungguhnya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Aku menutupnya cepat-cepat. Aku pura-pura tidak melihat. Ayat itu seakan menamparku, mengingatkanku pada sesuatu yang telah lama kutinggalkan. Tapi aku menolak. Aku memilih kembali tidur, berharap suara itu lenyap.

Namun, semakin aku menghindar, semakin aku merasa kosong. Dunia memberiku segalanya, tapi tak pernah memberi ketenangan. Aku seperti burung yang bebas terbang, tapi tak punya sarang untuk pulang.

Kadang, di tengah hiruk pikuk pesta, aku menatap wajah orang-orang di sekitarku. Mereka tertawa, bersorak, menenggak gelas demi gelas. Tapi aku sering bertanya dalam hati, “Apakah mereka juga merasa kosong seperti aku? Atau hanya aku yang pura-pura bahagia?”

Aku tidak tahu. Yang jelas, aku semakin terseret. Setiap hari aku menambahkan lapisan demi lapisan dosa. Hingga akhirnya, aku tidak lagi mengenali siapa diriku.

Aku, yang dulu diajarkan mengaji oleh ibu dengan penuh cinta.
Aku, yang dulu selalu dibangunkan untuk subuh.
Aku, yang dulu pernah bermimpi ingin membahagiakan orang tua di akhirat.

Semua itu kini hilang. Aku hanyalah sosok asing yang hidup dalam gemerlap palsu.

Tapi rupanya Allah tidak pernah tidur. Doa ibu tetap mengetuk pintu langit. Dan suatu hari, tanpa pernah kuduga, sebuah peristiwa datang menghantamku, merobohkan tembok kesombongan yang selama ini kubangun.

Sebuah peristiwa yang membuatku sadar… betapa jauh aku telah tersesat.

Cetak apapun lebih mudah, cepat, dan praktis