Waktu berjalan. Hari demi hari kulewati dengan usaha kecil yang kadang terasa besar. Shalat lima waktu kini menjadi pegangan, meski sesekali masih aku tinggalkan ketika godaan malas datang. Tapi setiap kali itu terjadi, hatiku gelisah. Ada suara yang berkata: “Kau sedang menjauh lagi.”
Aku mulai sering membaca Al-Qur’an. Awalnya hanya beberapa ayat, terbata-bata, lidah kaku karena lama tak menyentuhnya. Tapi semakin kubaca, semakin kurasakan sesuatu yang berbeda. Ayat-ayat itu bukan sekadar bacaan, melainkan cahaya yang menyusup ke dada.
Satu ayat yang membuatku terdiam lama adalah:
“Maka ke manakah kamu akan pergi?” (QS. At-Takwir: 26)
Pertanyaan itu menghantam keras. Benar, aku mau pergi ke mana? Dunia fana ini sudah kucoba, tapi tak pernah benar-benar memberi ketenangan. Semua kenikmatan yang dulu kukejar hanya menyisakan kosong. Lalu ke mana aku akan pulang kalau bukan kepada Allah?
Rasa rindu itu kian kuat. Rindu yang tak bisa kujelaskan. Rindu yang bukan pada rumah atau kampung halaman, tapi pada sesuatu yang lebih dalam: rindu pada fitrahku, rindu pada Tuhan yang pernah kutinggalkan.
Namun, jalan pulang ini tak selalu lapang. Aku masih sering dihantui rasa bersalah. Setiap kali menutup mata, wajah Arman datang. Ia meninggal saat mabuk, sementara aku yang mengajaknya. Aku merasa dosa itu melekat erat, tak bisa kucuci.
Sampai suatu hari, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, Arman tersenyum. Bukan senyum mengejek, bukan senyum marah, melainkan senyum yang damai. Ia menepuk bahuku dan berkata lirih: “Kau masih punya kesempatan. Jangan sia-siakan.”
Aku terbangun dengan air mata. Entah itu benar pesan darinya atau hanya bunga tidur, tapi mimpinya membuatku semakin yakin: aku harus benar-benar kembali.
Perlahan aku mulai memperbaiki hidup. Aku putuskan untuk pindah dari apartemen lama, yang penuh kenangan kelam. Aku mencari rumah kecil dekat masjid, meski sederhana, tapi aku ingin lingkunganku mendukung.
Aku hanya bisa menangis, menunduk di pangkuannya. Ingin sekali aku berkata: “Bu, doamu yang menarikku pulang.” Tapi kata-kata itu tak keluar, hanya isak yang menggantikan.
Di masjid, aku mulai punya sahabat baru. Mereka bukan orang yang sempurna, tapi sama-sama berusaha. Kami saling mengingatkan, saling menolong ketika ada yang jatuh. Aku merasa memiliki keluarga kedua.
Kata-kata itu sederhana, tapi menancap. Benar, aku sudah cukup kenyang dengan penyesalan. Aku ingin belajar kenyang dengan ketenangan.
Puncaknya, ketika Ramadan tiba. Itu Ramadan pertamaku setelah bertahun-tahun jauh dari masjid. Malam-malam tarawih membuat hatiku luluh. Lantunan ayat-ayat yang panjang, gema doa, air mata jamaah, semua mengajarkan satu hal: inilah rumahku. Inilah jalan pulang yang kurindukan.
Malam 27 Ramadan, aku duduk lama di sajadah. Hening, hanya suara imam dari masjid yang terdengar samar. Dalam sujud panjang, aku berbisik lirih:
“Ya Allah, aku rindu jalan pulang. Jangan biarkan aku tersesat lagi. Jika Kau anggap aku layak, terimalah aku kembali. Jika masih banyak dosaku, bersihkanlah dengan cara yang Kau kehendaki. Aku hanya ingin Engkau, hanya Engkau.”
Air mata deras mengalir. Tapi berbeda dengan tangis dulu yang penuh gelisah, kali ini ada ketenangan. Seolah aku benar-benar sedang dipeluk.
Aku sadar, perjalanan ini belum selesai. Aku mungkin masih akan jatuh, masih akan goyah. Tapi satu hal pasti: kini aku tahu ke mana harus pulang. Dan rindu itu akan selalu menjadi kompas, yang menuntunku kembali setiap kali aku tersesat.