Malam Pertama Yang Gagal

Pelaminan Duka

Langit pagi itu cerah, sinar matahari menembus sela-sela daun pohon di taman rumah keluarga Raka. Udara hangat menyejukkan, seolah dunia ikut merayakan pesta yang akan segera dimulai. Aula besar sudah dipenuhi hiasan bunga putih dan lampu kristal yang berkilauan, sementara kursi-kursi tamu disusun rapi menghadap pelaminan yang megah. Setiap detil persiapan terlihat sempurna.

Di tengah itu, berdirilah Raka, pemuda tampan dengan jas hitam rapi. Rambutnya tersisir sempurna, dan senyum menawan terlukis di wajahnya. Namun, di balik senyum itu, hatinya tak sepenuhnya tenang. Ia tahu, hari ini ia akan menikah dengan Nadia, perempuan cantik yang dijodohkan oleh orang tua mereka. Sejak awal, Nadia tidak pernah menunjukkan rasa suka padanya. Menurut Raka, ia telah belajar untuk menerima kenyataan itu, tapi kenyataan tetap pahit.


Ayah Raka menepuk bahu putranya, menimbulkan getaran hangat di dadanya. “Semoga hari ini berjalan lancar, Nak,” ucap ayahnya dengan senyum tipis, seolah menyadari kekhawatiran Raka.

Raka mengangguk pelan. “Terima kasih, Ayah.”

Di sisi lain aula, Nadia berdiri dekat pintu masuk, matanya menatap tamu-tamu yang mulai duduk. Ia mengenakan gaun pengantin putih panjang, berhiaskan renda tipis, rambutnya disanggul rapi. Senyum yang ia paksakan tampak indah bagi mata orang lain, tapi hatinya kacau. Ia tidak ingin menikah. Tidak dengan Raka, dan tidak hari ini. Semua ini hanyalah hasil keputusan orang tua mereka.

Ia menarik napas panjang, menelan rasa cemas yang menggebu-gebu. “Tidak… aku tidak bisa melakukannya,” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.

Musik pengiring mulai terdengar, menandakan pesta akan segera dimulai. Tamu-tamu mulai bersiap, kamera mulai mengarah ke pelaminan, dan suasana semakin riuh. Raka berjalan perlahan ke pelaminan, memandang kursi di seberang yang seharusnya diduduki oleh Nadia. Namun kursi itu kosong. Ia menunggu dengan sabar, berharap perempuan yang dijodohkan padanya itu akan muncul.

Beberapa menit berlalu, dan masih tak ada tanda-tanda Nadia. Raka mulai merasa cemas, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia menoleh ke pintu belakang, dan matanya tertumbuk pada sosok Nadia yang tampak tergesa-gesa menuju taman.

“Tidak mungkin…” gumam Raka.

Raka berlari mengejar, melewati tamu yang mulai penasaran, melewati kursi-kursi yang tertata rapi, dan menembus kerumunan orang. Hatinya terasa hancur saat melihat gaun putih itu menghilang di antara pepohonan. Ia berteriak, tetapi suaranya tenggelam di antara sorak-sorai tamu.

Di taman, Nadia terus berjalan, napasnya tersengal, tapi hatinya terasa ringan. Ia merasa bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, hanya tahu bahwa ia harus menjauh dari pelaminan, dari janji yang tidak pernah ia buat sendiri.

Raka tiba di tempat yang sama, berhenti beberapa meter di belakangnya. “Nadia!” serunya, suaranya bergetar. “Tolong, dengarkan aku…”

Nadia menoleh sebentar, mata mereka bertemu, tapi bukan dengan cinta. Ada rasa ketegangan, keberanian, dan kesedihan di mata perempuan itu. “Maaf, Raka. Aku tidak bisa… aku tidak siap untuk ini,” katanya pelan.

Raka menelan ludah, hatinya terasa tertusuk. “Aku… aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku ingin kau tahu, aku… aku siap mencintaimu, jika kau mau,” ujarnya dengan suara nyaris patah.

Nadia menunduk, mata berkaca-kaca. Ia menahan tangis yang hampir pecah. “Raka… aku… aku hanya ingin hidupku milikku sendiri. Aku belum bisa mencintai siapapun… termasuk kamu.”

Raka hanya bisa mengangguk, menahan rasa sakit yang mendalam. Ia tahu, cinta tidak bisa dipaksakan, dan kebahagiaan seseorang kadang berarti harus melepaskan.

Sementara itu, pesta di aula mulai kacau. Tamu-tamu berbisik, bingung melihat pengantin perempuan menghilang. Musik berhenti, dan fotografer menatap Raka dengan wajah heran. Raka kembali ke aula, berdiri di pelaminan, menatap kursi kosong. Ia menarik napas panjang, menerima kenyataan pahit itu dengan lapang dada.

Hari yang seharusnya menjadi momen paling bahagia berubah menjadi pelaminan duka. Tapi di balik duka itu, ada pelajaran yang tersimpan: cinta tidak bisa dijodohkan, dan kebebasan untuk memilih adalah hak setiap manusia.

Beberapa jam kemudian, ketika keramaian mulai mereda, Raka duduk di pelaminan, menatap langit senja yang mulai berwarna oranye. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Nadia telah pergi, menjalani pilihannya sendiri, dan ia pun belajar menerima kenyataan. Suatu hari nanti, mungkin ia akan bertemu seseorang yang benar-benar mencintainya, sebagaimana ia menghormati pilihan Nadia.

Di kejauhan, Nadia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Gaun putihnya berkibar diterpa angin sore, meninggalkan pelaminan, janji-janji yang dipaksakan, dan Raka yang meski terluka, tetap mendoakan kebahagiaannya.

Malam itu, pelaminan tetap megah, lampu-lampu berkilau, tapi di balik keindahannya, tersimpan duka yang mendalam sebuah kisah tentang cinta, pilihan, dan keberanian untuk menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan hati.

Pencarian Terkait :