Senja yang Membuka Luka
Langit sore itu seperti kanvas yang dilukis dengan kuas Tuhan. Warna jingga berbaur dengan merah keemasan, membiaskan cahaya hangat yang jatuh di wajah Nadia. Perempuan itu duduk di bangku kayu dekat pantai, mengenakan gamis sederhana warna biru muda. Matanya kosong menatap ke arah laut yang perlahan menelan matahari.
Sudah dua tahun sejak ia ditinggal suaminya dalam kecelakaan, namun setiap senja, kenangan itu kembali datang dengan luka yang sama. Ia merasa hidupnya hanya berjalan di tempat, terperangkap dalam penantian yang tak lagi berujung.
Di antara desir angin dan riuh ombak, tiba-tiba langkah kaki terdengar mendekat. Nadia menoleh, dan hatinya terhenti sesaat.
Seorang pria dengan tubuh tegap, wajah teduh, dan sorot mata yang familiar berdiri tak jauh darinya. Arman.
Orang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya, sahabat sekaligus cinta masa mudanya yang ia tinggalkan demi lelaki yang kini hanya tinggal nama.
“Nadia?” suara itu lirih, nyaris tak percaya.
Nadia tercekat. “Arman?”
Pertemuan itu tak terduga. Seperti takdir yang sengaja mempertemukan mereka di bawah senja, saat hati keduanya sama-sama rapuh.
Luka Lama yang Terkuak
Mereka duduk bersebelahan, canggung. Senja menjadi saksi bagaimana dua hati yang lama terkubur dalam kenangan kini dipaksa membuka luka lama.
“Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi denganmu di sini,” ujar Arman, menatap lurus ke cakrawala.
Nadia menunduk, menahan gejolak dalam dadanya. “Aku pun begitu. Aku pikir kau sudah pergi jauh…”
“Aku memang pergi, Nad. Tapi bukan berarti aku berhenti…” Arman menahan kata-katanya, seakan ada rahasia yang tak ingin ia ungkapkan.
Hening jatuh di antara mereka. Hanya desau angin yang menjadi pengisi kekosongan itu.
Nadia merasa dadanya sesak. Bersama Arman, bayangan masa lalu yang ia coba kubur kembali hidup. Rasa bersalah menyelinap — bukankah ia sudah memilih lelaki lain, dan meninggalkan Arman tanpa penjelasan bertahun-tahun lalu?
Namun ada sesuatu dalam tatapan Arman yang membuat hatinya bergetar kembali.
Pertentangan Batin
Hari-hari berikutnya, mereka kembali bertemu. Awalnya hanya percakapan singkat, lalu berlanjut menjadi pertemuan yang lebih lama. Senja menjadi alasan, seakan semesta sengaja merangkai perjumpaan mereka.
Namun semakin dekat, semakin dalam pula luka yang terbuka.
“Aku takut, Man…” kata Nadia suatu sore. “Aku takut dianggap melupakan almarhum suamiku terlalu cepat. Aku takut orang-orang berkata aku tak setia.”
Arman menatapnya dengan mata berkaca. “Kau hanya manusia, Nad. Kau berhak bahagia lagi. Kau berhak mencintai dan dicintai.”
“Tapi bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana dengan Raka? Dia selalu mengingatkanku agar tetap menjaga nama baik kakaknya. Aku tak bisa menentangnya…” suara Nadia bergetar.
Arman menggenggam tangannya. “Aku rela melawan dunia, asal bersamamu. Tapi jika kau menyerah karena ketakutan, aku tak bisa memaksa.”
Air mata Nadia jatuh. Pertemuan itu bukan hanya tentang cinta yang kembali, tapi juga pertempuran batin antara rasa bersalah, kesetiaan, dan kerinduan akan hidup baru.
Penolakan
Kabar kedekatan mereka ternyata sampai ke telinga Raka, adik mendiang suami Nadia.
Suatu sore, Raka datang dengan wajah penuh amarah. “Nadia! Bagaimana bisa kau dekat lagi dengan Arman? Apa kau lupa siapa dia? Kau baru dua tahun menjanda, dan sekarang…”
“Raka, dengarkan aku dulu…” Nadia berusaha menjelaskan.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan! Kau mencoreng nama kakakku! Kau melupakan dia begitu saja!”
Arman yang kebetulan hadir maju, menatap Raka tegas. “Cukup, Rak. Jangan salahkan Nadia. Aku yang mencintainya.”
Raka mendengus, wajahnya merah padam. “Kau? Orang yang dulu juga hampir merebutnya dari kakakku? Kau pikir aku akan membiarkan ini terjadi?”
Nadia menangis. Ia terjebak di antara dua sisi: keinginannya untuk kembali mencintai, dan tekanan dari keluarga almarhum.
Sejak saat itu, ia memilih menjaga jarak dari Arman.
Perpisahan di Senja
Mereka bertemu untuk terakhir kalinya di pantai itu. Senja kembali hadir, seolah ingin menjadi saksi perpisahan yang pahit.
“Aku tidak kuat, Man…” suara Nadia lirih, matanya sembab. “Aku harus memilih untuk mundur. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.”
Arman menahan tangis, tapi suaranya tegas. “Kalau itu keputusanmu, aku tak bisa memaksa. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu.”
Angin sore bertiup, membawa serta luka yang menyesakkan dada. Mereka berpelukan untuk terakhir kali, dengan air mata yang jatuh bercampur bersama debur ombak.
Senja itu menjadi saksi, bagaimana cinta harus dikorbankan demi harga diri dan perasaan orang lain.
Takdir di Ujung Jalan
Bulan berganti, waktu berjalan. Nadia mencoba menjalani hari-harinya dengan tenang. Namun setiap senja tiba, ia merasakan ada bagian jiwanya yang hilang.
Suatu sore, ia menerima kabar mengejutkan. Arman mengalami kecelakaan ringan saat perjalanan dinas. Ia segera datang menjenguk ke rumah sakit.
Saat melihat Arman terbaring dengan wajah pucat, Nadia tak kuasa menahan tangis. Semua perasaan yang ia tahan meledak.
“Kenapa kau begitu bodoh, Man? Kenapa kau terus menyakiti dirimu sendiri demi menahanku?” suaranya pecah.
Arman membuka mata, menatapnya dengan lemah. “Karena… hidupku hanya berarti jika kau ada di dalamnya, Nad.”
Saat itu Nadia sadar — cinta sejati tak bisa ditahan oleh apa pun. Tidak oleh rasa bersalah, tidak oleh penolakan, bahkan tidak oleh waktu.
Senja Baru
Beberapa bulan kemudian, perlahan tapi pasti, Nadia berani mengambil langkah. Ia menemui Raka, berbicara dengan air mata yang tulus.
“Aku tidak melupakan kakakmu. Ia akan selalu ada di hatiku. Tapi aku juga manusia, Rak. Aku butuh melanjutkan hidup, dan Arman… dia satu-satunya yang membuatku merasa hidup kembali.”
Raka terdiam lama, lalu menunduk. Mungkin marahnya perlahan mereda, digantikan dengan pengertian.
Senja berikutnya, Nadia dan Arman kembali ke pantai itu. Namun kali ini tidak ada air mata, tidak ada perpisahan. Yang ada hanya genggaman erat dan janji untuk tidak lagi melepaskan.
“Senja ini milik kita, Nad,” bisik Arman.
Nadia tersenyum dalam tangis bahagia. “Ya, senja ini… dan senja-senja berikutnya.”
Matahari tenggelam perlahan, seolah merestui cinta yang akhirnya menemukan jalannya kembali.