Raka mengirim pesan siang itu.
“Malam ini ikut aku ya. Dinner bareng tim kantor. Biar kamu kenalan juga sama dunia kerjaku.”
Awalnya aku ragu. Aku belum terlalu siap masuk ke lingkaran sosialnya lagi. Tapi setelah berpikir sebentar, aku memutuskan ikut. Aku ingin tahu, apakah hatiku cukup kuat untuk berjalan di sebelah Raka tanpa dihantui rasa takut akan masa lalunya.
Kami bertemu di depan restoran Jepang modern yang cukup mewah di bilangan Senopati. Raka terlihat santai dengan kemeja putih dan jeans biru gelap. Saat melihatku turun dari taksi online, dia tersenyum lebar, lalu meraih tanganku.
“Kamu cantik banget malam ini,” bisiknya.
Aku tersenyum, meski di dalam hati masih bergolak.
Pertemuan dengan Lingkaran Barunya
Kami masuk ke ruangan VIP. Di sana sudah ada lima orang yang duduk mengelilingi meja panjang. Semua menyambutku hangat. Suasana awalnya terasa menyenangkan.
Tapi semua berubah ketika satu perempuan datang menyusul. Dia mengenakan blazer hitam dan celana bahan. Rambutnya dikuncir setengah, rapi dan elegan. Ketika dia melangkah masuk, semua mata tertuju padanya.
Termasuk mataku. Dan jantungku.
“Sorry telat, macet banget di Tol Dalam Kota,” katanya sambil tersenyum.
Raka berdiri dan menyambutnya dengan sopan. “Gak apa-apa. Duduk sini, Arum.”
Arum.
Perempuan itu... cantik. Berwibawa. Dan, yang paling menusuk mantan Raka.
Meja Makan yang Tiba-Tiba Dingin
Aku mencoba tetap tenang. Tapi sejak Arum duduk di seberangku, rasanya setiap tawa, setiap gestur, jadi terasa seperti kompetisi diam-diam. Aku mencoba tersenyum, ikut dalam obrolan, tapi mataku tak bisa lepas dari bahasa tubuh Raka—dan cara Arum menatapnya.
Tak ada yang vulgar. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi... perempuan tahu. Ada rasa yang belum sepenuhnya selesai di mata Arum. Atau mungkin itu hanya pikiranku sendiri?
Ketika Arum bercerita soal pengalaman kerja mereka di Bali selama seminggu, aku nyaris kehilangan kendali.
“Oh iya, Rak, ingat waktu kita nyasar ke Ubud? Yang kamu malah ketawa-tawa karena GPS-nya ngaco?”
Raka tertawa. “Iya! Aduh, itu sih parah. Tapi seru juga sih.”
Aku meneguk air putih cepat-cepat. Tersenyum palsu. Berusaha terlihat biasa.
Isyarat Tak Terucap
Saat semua sedang asyik mengobrol, Raka menoleh ke arahku. Matanya menatapku dengan tatapan "Are you okay?"
Aku hanya mengangguk pelan. Padahal hatiku seperti diiris pelan-pelan.
Saat Arum bercerita panjang lebar tentang proyek terbaru mereka, aku melihat cara dia berbicara dengan percaya diri. Sekilas, aku bisa mengerti kenapa Raka dulu pernah memilih dia. Dan mungkin... kenapa dia masih ragu sekarang.
“Arum itu andalan kita banget kalau soal presentasi,” puji salah satu rekan mereka.
Raka mengangguk. “Iya, dia bisa bikin klien luluh dalam lima menit.”
Arum tersenyum ke arah Raka. “Tapi tetap aja aku belajar dari bos presentasi terbaik—Raka.”
Tawa terdengar. Tapi tidak di dalam diriku.
Udara yang Terasa Berat
Pulang malam itu, Raka mengantarku seperti biasa. Tapi suasana di dalam mobil terasa jauh berbeda dari biasanya.
“Maaf,” katanya tiba-tiba saat kami berhenti di lampu merah.
“Untuk apa?” tanyaku pelan.
“Harusnya aku kasih tahu lebih awal soal Arum.”
Aku menoleh padanya. “Kenapa gak cerita dari awal? Kamu tahu aku pasti akan tahu juga, kan?”
Dia terdiam. Menatap kemudi.
“Aku takut kamu mikir yang macem-macem. Padahal aku udah gak ada rasa apa-apa ke dia. Dulu iya, tapi sekarang... nggak. Aku cuma sama kamu, Nay.”
Aku menunduk. “Tapi kamu tahu gak, apa yang paling bikin aku takut?”
“Apa?”
“Kalau ternyata aku cuma jadi pelarian dari hubungan yang gak selesai sepenuhnya.”
Rasa Cemburu atau Intuisi?
Malam itu aku tak bisa tidur. Aku memutar ulang kejadian di meja makan tadi. Ekspresi Arum, candaan-candaan kecil mereka, bahkan posisi duduk mereka di meja. Aku tahu semua itu mungkin terlihat remeh. Tapi bagi hati yang pernah patah, hal sekecil apa pun bisa terasa menakutkan.
Aku bukan cemburu. Atau... mungkin memang iya. Tapi lebih dari itu, aku merasa kecil.
Apakah aku cukup baik untuk jadi cinta kedua yang benar-benar utama?
Atau aku hanya bayangan dari masa lalu yang nyaman, bukan masa depan yang diinginkan?
Pesan yang Menguatkan
Pagi harinya, sebuah pesan masuk dari Raka:
“Pagi, Naya. Aku ngerti kalau kamu gak nyaman semalam. Dan aku mau bilang: kamu bukan pilihan kedua. Kamu adalah keputusan baru. Dan aku bersyukur dikasih kesempatan kedua untuk mencintai kamu lagi.”
Air mataku menetes. Aku belum membalas. Tapi pesan itu seperti pegangan saat hatiku goyah.
Epilog Episode 3: Belajar Percaya Lagi
Percaya adalah hal paling sulit ketika hati pernah dikhianati oleh harapan. Tapi mungkin, cinta yang ingin tumbuh kembali harus melewati ujian ini: menerima masa lalu pasangan dengan lapang dada, tanpa lupa menjaga harga diri sendiri.
Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan ceritaku dengan Raka. Tapi malam itu, aku belajar satu hal: masa lalu memang bisa duduk di meja yang sama. Tapi yang menentukan siapa yang akan tetap duduk di samping kita... adalah pilihan hari ini.
Dan aku berharap, aku masih jadi pilihan itu.
Hashtag:
#CLBK #CintaLamaBersemiKembali #KisahCinta #DiaryCinta #SerialRomantis #CintaDewasa #CintaMasaLalu #Episode3 #BlogAsmara #CintaKembali