Rindu di Antara Deru Mesin Bus

Detak Jantung di Bus Kota

Siang itu, udara panas kota seolah menempel di setiap pori kulit. Raka menunduk memeriksa ponselnya, berusaha menahan kantuk setelah seharian belajar di SMA. Bus kota yang ia naiki penuh sesak, namun tetap terasa familiar aroma bensin, campuran wangi dupa dari kios pinggir jalan, dan suara klakson kendaraan yang bersahutan.

Dia merenggut nafas panjang ketika bis berhenti di halte dekat sekolah. Saat itu, matanya tak sengaja bertemu dengan seseorang yang membuat dunia di sekelilingnya tiba-tiba terasa melambat.

Seorang gadis dengan rambut panjang terurai, mengenakan seragam putih-biru yang rapi, tersenyum kecil kepada seorang temannya di seberang kursi. Tapi ketika pandangan mereka bersentuhan, senyum itu seakan berhenti sejenak, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam sesuatu yang membuat jantung Raka berdetak kencang, seperti dipicu listrik tak terlihat.

Detak Jantung Di Bus Kota

Raka tergagap. “Eh…,” batinnya, tapi suara itu tenggelam di antara deru mesin bus. Ia merasakan pipinya panas, tapi tak bisa mengalihkan pandangan. Gadis itu tampak sederhana tanpa makeup tebal, hanya wangi sabun yang lembut dan aroma rambut yang membuat Raka hampir kehilangan kata-kata.

Bus berguncang saat melewati jalan bergelombang. Gadis itu menunduk, seolah membaca buku catatan yang tebal, tapi sekali-sekali matanya menatap ke jendela. Setiap gerakan kecilnya membuat Raka tak sengaja menahan napas.

Di halte berikutnya, gadis itu berdiri, siap turun. Raka panik, ingin mengucapkan sesuatu, tapi suaranya serasa terkunci. Dia hanya bisa menatap ketika gadis itu menuruni tangga bus dengan langkah ringan, meninggalkan aroma wangi yang masih menempel di udara.

“Siapa namanya…?” bisik Raka pada dirinya sendiri, namun hanya suara bising kota yang menjawab.

Sejak hari itu, Raka tak pernah melewatkan bus sore pulang sekolah yang sama. Setiap detik menunggu, ia berharap bisa melihat mata itu lagi, berharap jantungnya berdetak seperti tadi keras, tak terduga, dan hangat.

Dan di setiap detik yang berlalu, ia tahu: ini adalah pandangan pertama yang tak akan pernah ia lupakan.


Beberapa hari berlalu. Raka masih tak bisa melupakan gadis itu. Setiap kali menaiki bus pulang sekolah, hatinya berdebar menunggu kemungkinan bertemu lagi. Tapi hari itu, takdir menyiapkan kejutan yang tak ia duga.

Saat jam istirahat di sekolah, Raka berjalan menuju kantin. Matanya kosong, pikirannya melayang-layang pada senyum yang membuat dadanya sesak. Tiba-tiba, dari balik meja makan, ia melihat sosok itu gadis dengan rambut panjang yang sama, tertawa kecil bersama teman-temannya.

“Tidak mungkin…” gumam Raka.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Inilah kesempatan yang selama ini ia tunggu tidak di bis, tidak di jalanan berisik kota, tapi di kantin sekolah, di depan mata, nyata. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri.

Langkahnya perlahan mendekat, tapi hati Raka berteriak-teriak agar ia tidak tersandung kata-kata. Gadis itu menoleh, matanya bertemu dengan Raka. Senyum tipis muncul di bibirnya, sama hangatnya seperti yang Raka lihat di bus.

“Hai… Raka, kan?” suara gadis itu lembut tapi jelas. Raka terkejut. Bagaimana dia bisa tahu namanya?

“I-iya… aku… euh…” Raka tersedak kata-kata. Ia menelan ludah, mencoba mengatur napas. “Aku… maksudku… senang bisa… ketemu lagi di sini.”

Gadis itu tersenyum lebih lebar. “Aku juga senang. Aku Mira, btw. Aku lihat kamu sering naik bus yang sama, kan?”

Raka mengangguk, jantungnya seolah meloncat ke tenggorokan. “Iya… aku… aku sering lihat kamu juga di sana. Sebenarnya… aku ingin bilang sesuatu… sudah lama.”

Mira menoleh, menunggu, dengan mata yang penuh perhatian.

“Eh… aku… suka sama kamu, Mira. Sejak pertama kali kita bertemu di bus… rasanya jantungku berdetak nggak karuan setiap kali aku lihat kamu,” Raka akhirnya mengeluarkan kata-kata yang sudah ia simpan berhari-hari.

Hening sejenak. Jantung Raka berdebar terlalu kencang, seolah seluruh kantin bisa mendengar detakannya. Lalu, Mira tersenyum, sedikit menunduk dan menepuk tangannya di meja.

“Aku… aku senang dengarnya, Raka. Aku juga penasaran sama kamu, tapi nggak pernah berani bilang,” jawab Mira lembut.

Raka hampir tidak percaya. Dunia seakan berhenti sejenak aroma makanan kantin, suara teman-teman yang bercakap-cakap, bahkan sinar matahari yang menembus jendela, semuanya terasa sempurna.

Hari itu, di kantin sekolah, bukan hanya jantung Raka yang berdetak kencang. Ada sesuatu yang lebih hangat awal dari sebuah cerita yang mungkin akan mereka ingat selamanya.

Dan Raka sadar, pandangan pertama yang membuatnya jatuh hati di bus, kini berbuah pertemuan yang tak terduga kesempatan emas yang akhirnya ia genggam.

Sejak pertemuan di kantin itu, Raka dan Mira mulai sering bertemu di sekolah. Awalnya, hanya saling melempar senyum di koridor atau menyapa ringan di kelas. Namun, setiap tatapan dan senyum kecil itu membuat jantung Raka tetap berdebar—bahkan lebih kencang daripada pertama kali di bus.

Suatu hari, saat pulang sekolah, mereka naik bus yang sama. Raka duduk di bangku yang sama seperti dulu, tapi kali ini lebih berani. Mira duduk di depannya, dan percakapan kecil pun dimulai.

“Hei… kamu selalu pilih bus ini, ya?” tanya Mira sambil tersenyum.

“Iya… euh… aku kan… senang ketemu kamu di sini,” jawab Raka, sambil menahan pipinya yang memanas.

Mira tertawa kecil, membuat Raka hampir tersedak karena kepolosannya. “Kamu masih canggung banget, ya?”

“C-canggung? Aku? Nggak lah… cuma… sedikit… gugup…,” Raka menjawab tergagap, lalu menunduk sambil memainkan ujung seragamnya.

Hari-hari berikutnya, mereka mulai lebih akrab. Di kantin, Raka selalu berebut tempat duduk di dekat Mira, sering berbagi makanan, dan bahkan saling melempar catatan lucu di kelas. Ada satu momen canggung yang tak akan mereka lupakan: saat Raka mencoba memberi Mira permen cokelat, tapi tangan mereka tersentuh dan keduanya langsung memerah seperti tomat.

Suatu Jumat sore, setelah pulang sekolah, Raka memberanikan diri. Mereka duduk di bangku taman dekat sekolah, di bawah rindangnya pohon. Angin sore membawa aroma wangi bunga yang tumbuh di sekitar taman, membuat suasana semakin manis.

“Mira… aku… euh… aku ingin bilang sesuatu lagi,” Raka menunduk, tapi mata Mira menatapnya penuh perhatian.

“Ya?” Mira membungkuk sedikit, tersenyum hangat.

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku ingin kita… resmi… pacaran,” ucapnya dengan suara bergetar.

Mira terdiam sejenak, kemudian tersenyum lebar dan menjawab, “Aku juga ingin… aku suka sama kamu, Raka. Ayo… kita jadi pacar.”

Raka hampir melompat kegirangan. Mereka tertawa bersama, jantung mereka berdetak kencang tapi hangat. Mulai saat itu, setiap pandangan, setiap sentuhan tangan kecil, bahkan lelucon canggung di kelas, terasa seperti dunia mereka sendiri.

Hari-hari SMA mereka berubah menjadi penuh momen manis:

  • Berbagi es krim di kantin, meski es krim itu tumpah karena Raka kaget melihat Mira tertawa.

  • Lomba olahraga di sekolah, Raka sengaja “terjatuh” supaya Mira menolongnya.

  • Tertawa hingga perut sakit saat guru memasangkan mereka dalam proyek kelompok.

Dan yang paling manis: setiap kali mereka naik bus yang sama, mereka selalu duduk bersebelahan, tertawa, dan menatap dunia bersama. Bus yang dulu hanya menjadi saksi pandangan pertama kini menjadi saksi cinta mereka yang tumbuh, lucu, canggung, dan manis seperti kisah SMA yang tak terlupakan.

Pencarian Terkait :